Buffet’s Equity Bond: Sebuah Perbedaan Perspektif dengan Benjamin Graham
Warren Buffet tak bisa dipungkiri merupakan salah satu legenda di dunia investasi, khususnya investasi saham. Dengan Berkshire Hathaway-nya, Warren Buffet pernah menjadi orang terkaya di dunia versi Forbes, tepatnya pada tahun 2008, dengan kekayaan mencapai USD 62 miliar. Tahun 2021 ini, Warren Buffet menduduki rangking 10 dalam daftar urutan orang-orang super kaya sesuai catatan Bloomberg Billionaire Index.
Buffet bukan Elon Musk, pemuncak deretan orang kaya sekarang ini dengan Tesla dan Space-X-nya. Buffet hanyalah seorang biasa yang memulai kariernya sebagai investor ritel saham biasa. Pencapaiannya seperti sekarang ini didapat dari ketekunannya bertahun-tahun dalam investasi saham, dan keyakinannya bahwa kekayaan itu tidak bisa dibangun dalam setahun dua tahun saja. Butuh puluhan tahun untuk menjadi super kaya! (Buffet memulai karier sahamnya sejak tahun 1950-an).
Buffet terkenal dengan konsep value investing yang didapat dari mentornya Benjamin Graham. Sebuah konsep yang meyakini bahwa seorang investor hanya boleh membeli saham perusahaan bagus di harga yang murah.
Buffet sendiri popular dengan ide equity bond. Ya, menurut Opa Buffet, saham tak ubahnya seperti bond, atau obligasi.
Obligasi seperti kita tahu adalah surat hutang. Obligasi bisa dikeluarkan oleh pemerintah maupun perusahaan swasta. Masyarakat umum bisa membeli surat hutang pemerintah dengan imbal balik yang disebut dengan kupon.
Surat hutang pemerintah terbaru adalah ORI021 dengan kupon sebesar 4,95% per tahun. Artinya, jika kita membeli ORI020 sebesar 100 juta rupiah, maka untung yang akan kita dapat adalah 4,95 juta rupiah setahun, dikurangi pajak 10%, maka bersih akan mendapat untung sebesar 4,46 juta rupiah, atau 4,46% setahun. Obligasi sudah ditentukan kuponnya, atau bunganya.
Buffet mengibaratkan saham seperti obligasi. Bedanya, saham belum ditentukan “kupon”nya. Kita sendiri yang menentukannya, sesuai dengan kinerja fundamental perusahaan tersebut. Bagi Buffet, kupon dari sebuah saham adalah laba sebelum pajak, atau pretax earnings.
Ide ini muncul setelah Buffet mengamati bahwa perusahaan yang bagus akan terus bertumbuh sampai tahun-tahun berikutnya di masa depan. Begitupun dengan harga sahamnya yang akan mengikuti performa dari perusahaan. Gampangnya, ide investasi saham jangka panjang Warren Buffet adalah sama dengan membeli obligasi dengan harga sekarang yang nilainya akan selalu meningkat disertai dengan peningkatan kuponnya juga.
Konsep equity bond Warren Buffet dapat dilihat pada saham Coca Cola yang dibelinya di akhir 1980-an.
Saat itu, Buffet membeli saham Coca Cola di harga rata-rata USD 6,50 dengan laba sebelum pajak per saham USD 0,70, atau EPS USD 0,46. Ini seperti membeli obligasi di harga USD 6,50 dengan kupon sebesar 10,7%. Berdasarkan sejarah pertumbuhan Coca Cola selama ini yang mencatatkan pertumbuhan rata-rata 15% per tahun, maka Buffet boleh beranggapan bahwa nilai kupon tadi akan meningkat sebesar rata-rata 15% per tahun.
Pada tahun 2007, atau 20 tahun setelah Warren Buffet membeli saham Coca Cola, perusahaan itu mencatatkan laba sebelum pajak USD 3,96 per saham, atau bertumbuh rata-rata 9,35% dari akhir tahun 1980-an. Ini berarti, “kupon” yang diperoleh Warren Buffet dari “obligasi” saham Coca Cola menjadi 60,9%.
Peningkatan “kupon” dari 10,7% menjadi 60,9% selama 20 tahun ini secara otomatis akan meningkatkan harga “obligasi” saham Coca Cola tadi. Dengan mengacu pada rata-rata suku bunga korporasi 6,5%, maka harga saham Coca Cola pada tahun 2007 adalah sekitar USD 60 per saham (USD 3,96 ÷ 6,5% = USD 60).
Dan, harga saham historis selama tahun 2007 berkisar antara USD 45 sampai USD 64.
Hal ini membuktikan bahwa harga saham akan diapresiasi oleh pasar sesuai dengan laba yang dihasilkannya.
Di sini terlihat perbedaan prinsip investasi antara Buffet dengan Graham. Buat Warren Buffet, saham Coca Cola bukan berharga katakanlah USD 60 dan diperdagangkan seharga USD 40 sehingga saham itu bisa dikatakan undervalued. Namun, menurut Buffet, dia membeli saham Coca Cola dengan imbal hasil “kupon” 10,7% yang berpotensi meningkat sebesar 15% per tahun dalam jangka panjang (walaupun setelah 20 tahun growth rate rata-rata hanya 9,35%). Dan investasi ini bisa dibilang bebas risiko karena Coca Cola merupakan jenis perusahaan yang memiliki keunggulan kompetitif dibanding pesaing-pesaingnya.
Buat Graham, iming-iming imbal hasil 10% setahun dan potensi pertumbuhan 15% bukanlah tujuan. Karena dia tidak pernah berencana untuk memegang sebuah saham hingga puluhan tahun. Graham hanya fokus pada harga saham. Selama itu menawarkan diskon yang besar, maka Graham akan mempertimbangkan untuk membelinya. Realita ini yang membuat kita para investor saham harus mempertimbangkan pentingnya membeli saham perusahaan berkualitas yang memiliki keunggulan kompetitif.