Stocks

Cerita IPO

Sebagai seorang value investor, salah satu doktrin yang saya anut adalah: jangan membeli saham IPO. Kenapa jangan? Karena yang pertama, perusahaan yang baru IPO bisa jadi perusahaan baru yang belum teruji. Selain itu, belum ada track record, terutama dalam bentuk laporan keuangan, yang bisa dilihat. Alasan kedua adalah karena secara umum, perusahaan yang sedang IPO pasti, saya ulangi pasti, menjual sahamnya di harga premium. Jelas dong, namanya orang jualan, mana ada yang tidak mau untung.

Ambil saja kasus IPO perusahaan Gojek Tokopedia dua tahun silam dengan kode ticker GOTO. Saat itu saham IPO GOTO dijual seharga Rp. 338 per lembar sahamnya. Harga 300 perak sepintas tampak murah. Tapi jangan salah. Melihat harga saham mahal atau murah tidak bisa hanya dilihat dari harganya saja. Saham yang dijual oleh GOTO ke masyarakat saat itu sejumlah 40,61 miliar lembar saham, yang membuatnya bisa mengumpulkan dana sejumlah Rp. 13,72 triliun. Jumlah lembar saham GOTO sendiri sebanyak 1,18 triliun lembar saham, membuat perusahaan Gojek-Tokopedia dihargai sebesar Rp. 400,31 triliun di harga IPO. Nah, untuk melihat mahal atau murahnya, kita bisa cek dari beberapa cara. Cara pertama, kita bandingkan dengan nilai modal asli GOTO. Sesuai dengan laporan keuangan GOTO tahun 2021, total ekuitasnya bernilai Rp. 20,79 triliun. Ini berarti, saat IPO, GOTO dijual 19 kali lebih mahal dari harga sebenarnya.

“Lho, ya wajar aja, kan prospek GOTO ke depannya cerah.”

Apa benar begitu? Mari kita kulik lebih dalam lagi.

Setelah kita cek laporan keuangan mereka, ternyata perusahaan tersebut selalu rugi, at least sejak tahun 2018 sampai dengan tahun 2021. Di tahun 2018, perusahaan rugi 11,2 T. Tahun berikutnya masih rugi 22,7 T. Lanjut di tahun 2020 perusahaan mencatatkan hat-trick rugi 14,2 triliun rupiah. Sampai sekarang pun, GOTO masih mencatatkan rugi 90,3 triliun rupiah (di tahun 2023).

Apakah perusahaan yang rugi setiap tahunnya pantas dijual dengan harga 19 kali lebih mahal?

Anda sendiri yang bisa menjawab. Yang jelas, saham GOTO hari ini tidak jauh-jauh dari harga Rp. 50 per lembarnya.

Apabila anda membeli saham GOTO sewaktu IPO, maka dalam tempo 2 tahun, uang anda akan berkurang seperlima. Apabila saat membeli saham IPO anda membayar 100 juta rupiah, maka hari ini uang anda akan tersisa 20 juta saja.

Kebanyakan perusahaan yang IPO menjual sahamnya dengan harga tinggi. Namun tidak semuanya berkinerja jelek seperti GOTO.

Khususnya yang mau saya bahas di bawah ini. Yang membuat saya terpaksa harus melanggar doktrin saya di atas. Ya, saya pada akhirnya memutuskan untuk membeli saham perusahaan IPO. Perusahaan tersebut adalah PT Adaro Andalan Indonesia, dengan kode ticker AADI. Sesuai namanya, AADI adalah protolan dari PT Adaro Indonesia, raksasa batubara Indonesia. Alasan saya membeli saham IPO ini cukup simpel. Yang pertama tentunya karena AADI merupakan pemain lama batubara Indonesia yang performa perusahaannya mentereng. Memang benar AADI baru IPO, tapi sebelumnya dia sudah berada di bawah ADRO sekian lama. Track recordn-ya pun oke. Histori laporan keuangan Adaro bisa dibaca dengan jelas untuk lebih dapat memahami performa dari perusahaan ini.

Alasan kedua adalah harga IPOnya yang murah. Bayangkan, saat saham GOTO waktu IPO dihargai 19 kali lipat lebih mahal di saat perusahaan selalu merugi setiap tahunnya, saham AADI dihargai hanya seharga PE 2. PE 2 artinya, harga sahamnya itu senilai setengah dari laba satu tahunnya. Alias, uang kita akan menjadi dua kali lipat dalam waktu dua tahun saja. Harga saham AADI saat IPO sendiri dijual Rp. 5.550 per lembar sahamnya. Murah sekali.

Hitung-hitungannya seperti ini.

Di tahun 2023, PT Adaro Andalan Indonesia membukukan profit USD 1,15 miliar, atau kalau dirupiahkan senilai 17,8 triliun rupiah. Per laporan keuangan semester 1, perusahaan sudah mencatatkan laba bersih USD 847 miliar, atau Rp. 13,9 triliun dengan kurs USD Rp. 16.421 (sesuai dengan LK 6M), yang jika disetahunkan (dikali 2) menjadi USD 1,69 miliar. Sudah melampaui laba bersih tahun lalu.

Saham yang dijual saat IPO ini hanya 10% dari total sahamnya, yang di harga Rp. 5550 bernilai 4,32 T. Sehingga, market cap AADI di harga IPO adalah 43,2 T.

Dengan memegang prinsip konservatif, kita anggap laba bersih tahun 2024 sama dengan tahun lalu, yaitu Rp. 17 triliun, maka harga IPO Rp. 5550 senilai dengan PE 2,5 (market cap 43,2 T dibagi laba 17 T).

Ini belum iming-iming dividen yang dijanjikan 45% dari laba bersih, yang kalau dihitung senilai 7,65 T . Tahun depan, investor pemegang saham IPO AADI akan mendapat dividen sebesar Rp. 982 per lembar sahamnya, atau setara 17%. Belum termasuk kenaikan harga sahamnya.

Dan benar saja, di hari pertama, saham AADI sudah ARA di harga Rp. 6650. Saya pun yang hanya kebagian sedikit sudah untung 19% dalam satu hari. Manajemen AADI hanya mengalokasikan saham sebanyak 3 atau 4 lot untuk yang memesan di bawah 100 juta rupiah. Investor yang pemesanannya di atas 100 juta rupiah dijatah 2% sampai 3% saja dari total pesanannya.

Namun investasi saham ini bukan bicara untung dalam sehari. Investasi saham adalah perkara membeli perusahaan bagus di harga murah.

Dan itu telah saya lakukan di saham AADI ini. Sebuah fenomena yang jarang jarang sekali terjadi di pasar saham.

Tesis pembelian AADI saya cukup simpel. AADI ini perusahaan yang bagus sekali dan sudah teruji, yang setahunnya bisa membukukan ROE di atas 20%. Spin off dari induknya PT Adaro bukan karena sesuatu yang material. Pemilik Adaro hanya ingin memisahkan lini usaha “kotor” dengan “green” demi mendapatkan akses ke insentif finansial. Saya membeli saham AADI karena dijual di harga yang murah sekali.

Kapan saya menjualnya? Mungkin saya baru menjualnya pada saat harga saham AADI menyentuh Rp. 20.000 yang menurut saya merupakan harga wajarnya, sesuai dengan kualitas perusahaannya. Paling tidak dalam waktu 2 tahun ini kita evaluasi lagi performa perusahaannya. Apakah spin off Adaro ini mengakibatkan perubahan kinerja dari Adaro Andalan Indonesia?

Let’s see.

Share :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *