What Is Value Investing?
Value investing, atau investasi berbasis nilai, merupakan satu aliran yang populer dalam dunia investasi saham. Buat saya, value investing identik dengan sosok Warren Buffet, walaupun sebenarnya value investing pertama kali dipopulerkan oleh gurunya Warren Buffet, Benjamin Graham.
Sebenarnya apa sih value investing itu?
Secara singkat, yang dimaksud dengan value investing adalah membeli (saham) sebuah perusahaan di harga super murah, yaitu pada harga super diskon dari nilai intrinsiknya. Tentunya saham yang dibeli bukan jenis saham gorengan; harus saham perusahaan yang kuat secara fundamental. Ekstremnya, value investing itu ibaratnya seperti “membeli Mercy seharga bajaj,” kata Lo Kheng Hong. Fenomena tersebut tentunya mustahil di dunia nyata. Namun di bursa saham, selalu saja ada Mercy yang dijual di harga bajaj, atau paling tidak di harga Avanza.
Membeli saham di harga super diskon tadi sebenarnya bertujuan untuk mengontrol risiko. Risiko terhadap fluktuasi harga saham. Logikanya, saat harga sebuah saham berada sangat rendah jauh dari nilai intrinsiknya, maka kemungkinan saham tersebut untuk lebih turun lagi akan lebih kecil. Di situlah yang disebut dengan pengendalian risiko.
Marilah kita melihat pengalaman Pak Lo Kheng Hong di saham PT Indah Kiat Pulp and Paper (INKP) seperti yang pernah dimuat di Kontan untuk melihat contoh aplikasi value investing yang nyata.
Pada bulan Januari 2017, Lo Kheng Hong membeli saham INKP sebanyak 31,7 juta lembar saham dengan harga beli rata-rata di Rp. 1.000. Pada periode September 2016, dilaporkan laba bersih dari INKP melonjak signifikan hingga mencatat PER 2 kali. PER adalah price to earn ratio, rasio harga saham dibanding laba sebuah perusahaan. PER 2 kali artinya apabila kita invest di perusahaan tersebut maka nilai modal investasi kita akan balik modal (BEP) dalam waktu hanya 2 tahun. Semakin kecil nilai PER, semakin murah harga saham.
Di samping itu, Lo Kheng Hong juga melihat PBV (price to book value) INKP juga sangat murah, hanya senilai 0,15 dari nilai bukunya. Saat itu nilai buku ekuitas per sahamnya adalah Rp. 6.000-an, sedangkan sahamnya dijual di harga seribu rupiah. Super duper murah.
Dua faktor utama itu ditambah dengan reputasi Indah Kiat sebagai perusahaan pulp and paper terbesar di Indonesia mendorong Lo Kheng Hong memborong saham INKP. Dan guess what, pada bulan Juli 2018, harga saham INKP meroket hingga menyentuh Rp. 20.000. Hanya dalam tempo 1,5 tahun, investasi Lo Kheng Hong menghasilkan return 1900% atau 20 kali lipat. Apabila modal Lo Kheng Hong di INKP saat itu katakanlah 31 miliar rupiah, maka 18 bulan setelah itu duitnya tiba-tiba menjadi 600 miliar rupiah!
Tentunya cerita manis di atas tidak dialami semua investor saham. Selain karena faktor rejeki orang masing-masing, penganut aliran value investing tidaklah banyak. Seperti kata Warren Buffet, untuk sukses seorang investor harus berperilaku melawan arus. Be fearful when others are greedy; be greedy when others are fearful.
Kembali ke konsep value investing. Investor awam tentunya akan bertanya apa itu “nilai intrinsik”? Apakah nilai intrinsik sama dengan nilai buku?
Secara sederhana memang sebuah saham dikatakan murah apabila harganya dijual di bawah nilai buku per saham. Nilai buku adalah ekuitas, atau modal perusahaan. Misal sebuah perusahaan, katakanlah PT Karotang yang menyebar 1 miliar lembar saham tercatat memiliki ekuitas 1 triliun rupiah, maka nilai buku per sahamnya adalah 1.000 rupiah. Apabila di pasar sahamnya dihargai 700 rupiah, maka PBV adalah 0,7, alias diskon 30% dari nilai buku per sahamnya.
Murahkan itu? Cukupkah diskon 30% tersebut?
Well, hal itu tergantung preferensi masing-masing investor. Ben Graham sendiri pernah menulis di masterpiece-nya the Intelligent Investor bahwa margin of safety minimal adalah 1/3. Saya sendiri menganut MoS minimal 50%.
Selanjutnya contoh saham PT Karotang di atas yang didiskon 30%, apakah memang benar sudah murah? Ataukah sahamnya murahan sehingga harganya di situ-situ aja.
Memilih saham yang akan dibeli memang pelik urusannya bagi yang belum menguasai. Investor harus tahu apakah saham yang hendak dibeli itu memang sedang murah atau sahamnya tergolong saham murahan, dalam arti perusahaannya jelek sehingga harga sahamnya rendah terus.
Untuk mengetahui hal ini tentunya setiap investor harus melakukan analisis fundamental dengan melihat data historis perusahaan selama sepuluh tahun terakhir. Setelah membaca laporan keuangan sepuluh tahun ke belakang, ditambah dengan melakukan riset mandiri, maka seorang investor akan dapat mengestimasi “nilai” atau kualitas dari sebuah perusahaan.
Sebagai contoh saham Bank BCA. Bank BCA merupakan salah satu market leader perbankan Indonesia dengan kinerja konsisten selama bertahun-tahun. Alhasil harga sahamnya dihargai sangat mahal. Rata-rata PBV Bank BCA selama 10 tahun terakhir adalah 4,38. Histori PBV termurah selama 10 tahun terakhir adalah 3 kali. Untuk kasus Bank BCA seperti ini, hampir mustahil rasanya menunggu harga sahamnya turun hingga di bawah nilai bukunya.
Oleh karena itu, seorang investor menilai MoS dari nilai intrinsik perusahaan, bukan dari nilai bukunya. Semakin bagus kualitas sebuah perusahaan, maka nilai intrinsiknya akan lebih tinggi dari nilai bukunya. Begitu pula sebaliknya, perusahaan yang rugi terus akan memiliki nilai intrinsik di bawah nilai bukunya.
Nilai intrinsik sendiri sejatinya adalah nilai perusahaan di masa depan. Tidak ada rumus standard dalam menentukan nilai intrinsik sebuah perusahaan. Namun mudahnya, nilai intrinsik adalah berapa uang yang akan diperoleh perusahaan dalam beberapa tahun ke depan.
Di sini kita bisa menggunakan PER. Perusahaan yang bagus cenderung dihargai pasar lebih mahal, atau memiliki nilai PER yang tinggi.
Sebagai contoh, Bank BCA memiliki PER rata-rata 10 tahun 22 kali, atau 22 tahun balik modal. Maka kita tinggal mengestimasi laba bersih BCA di masa depan lalu dikalikan dengan PER tersebut.
Taruhlah kita ambil net profit BCA pada tahun 2019 sebesar 28 triliun dan kita asumsikan selama 22 tahun ke depan BCA hanya akan menghasilkan rata-rata 28 triliun per tahunnya. Maka nilai intrinsik Bank BCA adalah 616 triliun rupiah, atau nilai intrinsik per sahamnya adalah 5.049 rupiah (setelah dibagi dengan 122 miliar lembar saham beredar BCA).
Artinya, dengan harga pasar sekarang di kisaran 7.800-an, maka harga saham BCA tergolong kemahalan. Seorang value investor baru akan tertarik untuk membeli saham Bank BCA di kisaran harga 3.000 rupiah, atau PBV 2,1. Saat kita membeli saham BCA di harga 3.000, apa iya harga sahamnya akan turun lebih dalam lagi? Mengingat kualitas Bank BCA, jika harga sahamnya sudah menyentuh angka segitu, seyogyanya harga sahamnya tinggal naiknya saja.
Namun apakah mungkin menunggu harga saham BCA sampai turun serendah itu?
Well, jika perusahaan mengalami krisis temporer, atau sektor industrinya mengalami krisis temporer, hal tersebut bisa saja terjadi. Itu karena Mr. Market sangat berhubungan erat dengan psikologi pasar. Ingat petuah Opa Buffet: In the short run, the market is a voting machine. But in the long run, it is a weighing machine.
Apabila tidak ada kejadian extraordinary sehingga sahamnya tidak turun-turun bagaimana? Ya cari Mercy lain yang dihargai seharga Avanza. Sesimpel itu.
Namun kembali lagi saya tekankan di sini bahwa usaha mencari nilai intrinsik sebuah perusahaan adalah sebuah pekerjaan yang subyektif. Masing-masing orang tentunya punya penilaian sendiri-sendiri, bahkan metode dan rumus masing-masing.
Dengan banyaknya pengalaman mengarungi bursa saham, seorang investor akan semakin bijak dalam mengambil keputusan investasi.
Disclaimer: tulisan dan ilustrasi di atas bukanlah ajakan atau anjuran untuk berinvestasi atau membeli saham tertentu. Segala keputusan investasi berada di tangan masing-masing.