Essay

Strategi Asymmetric Deterrence Indonesia di Laut Natuna Utara

Di sebuah siang di medio Februari 2024 di Laut Natuna Utara, tepatnya di sekitar batas landas kontinen Indonesia-Vietnam bagian utara, KRI John Lie-358 yang sedang melaksanakan operasi patroli rutin mendeteksi adanya satu kapal penjaga pantai Tiongkok (CCG) sedang drifting. Dalam keadaan peran tempur bahaya permukaan, John Lie mengontak CCG tersebut yang kemudian diidentifikasi sebagai CCG 5901, memerintahkan untuk segera bergerak ke utara meninggalkan perairan Indonesia. Respons pertama seperti sudah diduga sebelumnya, dengan tak bergeming, CCG tersebut mengaku sedang melaksanakan patroli rutin di wilayah perairan mereka. Kontak kedua pun dilakukan sambil melaksanakan shadowing, bahwa sesuai hukum internasional UNCLOS, perairan yang dimaksud masuk ke dalam perairan yurisdiksi Indonesia. Aksi John Lie melaksanakan shadowing tersebut akhirnya direspons oleh CCG. Kapal berlambung putih Tiongkok tersebut secara perlahan bergerak ke utara berlayar meninggalkan landas kontinen Indonesia sambal terus dibayang-bayangi oleh kapal frigat kebanggaan TNI AL itu.

Cerita di atas adalah keseharian yang sering dihadapi oleh para prajurit TNI AL di Laut Natuna Utara. Beruntung bagi Indonesia, tensi yang dihadapi tidak setinggi yang menimpa Filipina yang kapal-kapalnya beberapa kali terlibat kontak secara fisik dengan CCG. Terbaru, dua CCG “bersenggolan” dengan kapal penjaga pantai Filipina yang menyebabkan empat orang cedera (Gomez 2024). Klaim Tiongkok tersebut sudah berlangsung puluhan tahun dan cenderung semakin meningkat tensinya belakangan ini.

Sebagai komponen utama dalam pertahanan negara, TNI memiliki fungsi sebagai penangkal, penindak, dan pemulih. Artikel ini akan menawarkan konsep penangkalan yang bisa dilakukan oleh Indonesia dalam menyikapi perkembangan situasi di Laut Cina Selatan, utamanya dalam menghadapi negara dengan kekuatan yang jauh di atas Indonesia. Penangkalan, atau deterrence dalam bahasa Inggris, adalah sebuah konsep yang awalnya lahir di era Perang Dingin, yang kemudian melahirkan perkembangan terminologi sesuai dengan perkembangan lingkungan strategis. Lawrence Freedman dalam bukunya pernah mendefinisikan deterrence sebagai upaya terencana yang bertujuan untuk mengubah perilaku pihak lain dengan menimbulkan ancaman atau konsekuensi negatif atas tindakan tertentu (Freedman 2009, 6). Penulis berpendapat bahwa sebaiknya Indonesia fokus pada upaya penangkalan yang bisa dilakukan dalam menghadapi ancaman dari utara yang bertujuan untuk mencegah terjadinya konflik terbuka. Sebagai negara dengan kemampuan militer yang relatif lebih lemah, maka diperlukan cara-cara penangkalan yang out of the box agar calon musuh mengurungkan niatnya untuk mencari gara-gara dengan Indonesia.

Artikel ini berpendapat bahwa risiko yang ditimbulkan dari aksi-reaksi sebuah upaya penangkalan sangat tergantung dengan perimbangan kekuatan (balance of power) dan kemauan penindakannya (will to coerce). Indonesia bisa menjalankan strategi asymmetric deterrence dengan berfokus pada dua variabel tersebut. Strategi penangkalan yang paling masuk akal diterapkan oleh Indonesia sebagai pihak yang relatif lebih lemah adalah memperkecil gap kekuatan militer sekaligus menjaga kemauan pihak lain untuk menyerang Indonesia tetap rendah.

Kerangka Teori

Dua variabel tersebut, balance of power dan will to coerce, dalam interaksinya memiliki empat skenario risiko yang menggambarkan kemungkinan perilaku dari negara sasaran (target state). Skenario pertama adalah apabila kekuatan militer negara sasaran sangat tidak seimbang (jauh lebih kuat) dan memiliki niat permusuhan yang tinggi, maka yang terjadi adalah upaya penangkalan akan gagal karena negara sasaran tidak akan merasakan efek dari deterrence yang dilancarkan. Hasilnya adalah situasi berisiko tinggi (high risk), dengan negara sasaran akan tetap mengganggu negara penangkal (deterrer). Deterrence baru akan benar-benar dirasakan oleh target state hingga ia mengurungkan niatnya untuk menyerang atau mengganggu sebuah negara jika kekuatan militernya relatif lebih lemah dan minimnya kemauan untuk bermusuhan (no risk).

Meskipun demikian, konsep penangkalan ini bersifat spektrum, bukan hitam dan putih. Hasil dari sebuah upaya deterrence bukan hanya BERHASIL atau TIDAK BERHASIL saja. Efek penangkalan juga meliputi area tengah-tengah, yaitu CUKUP BERHASIL dan KURANG BERHASIL, yang dimanifestasikan oleh perilaku negara sasaran penangkalan dalam melihat negara penangkal.

Ilustrasi 1. Spektrum hasil upaya penangkalan.

Pada skenario gap kekuatan militer yang masih lebar namun minimnya kemauan untuk bermusuhan, maka yang terjadi adalah negara sasaran tetap akan menantang status quo karena efek penangkalan yang dilancarkan tidak cukup untuk dirasakan. Kemungkinan penyerangan tetap tinggi dengan risiko moderat (moderate risk). Pada skenario terakhir, yaitu saat kemauan bermusuhan negara sasaran tinggi namun tidak dibarengi oleh keunggulan kekuatan militer, maka di sinilah efek penangkalan mulai dirasakan yang diwujudkan dalam bentuk keengganan negara sasaran untuk menyerang negara penangkal. Situasinya menjadi berisiko rendah (low risk).

Kerangka berpikir yang dihasilkan dari variabel kekuatan militer dan intensi permusuhan memungkinkan penangkalan bisa dilakukan secara asimetris. Negara yang memiliki kekuatan militer relatif lebih lemah masih bisa melaksanakan upaya-upaya penangkalan terhadap negara yang lebih kuat dengan cara mengutak-atik dua variabel tersebut. Taiwan, misalnya. Dengan kekuatan militer yang inferior terhadap Tiongkok, Taiwan memilih untuk beraliansi dengan Amerika Serikat untuk meningkatkan kekuatan pertahanannya. Hal ini ditunjang dengan nilai strategis negara pulau tersebut di dunia dengan keberadaan produsen semikonduktor (microchip) TSMC yang menguasai lebih dari 50% pangsa pasar chip dunia (Miller 2022). Daya tawar Taiwan sebagai pemasok chip terbesar menjadikan dunia memandang Tiongkok sebagai bad guy dalam konflik ini. Bila berkaca dari kerangka berpikir penangkalan asimetris, pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Taiwan adalah meredam upaya reunifikasi Tiongkok. Situasi upaya deterrence yang dilakukan oleh Taiwan dengan back up Amerika Serikat terhadap Tiongkok berada pada kuadran low risk.

Ilustrasi 2. Matriks risiko penangkalan.

Dalam hal skenario di Laut Natuna Utara sesuai konteks tulisan ini, negara sasaran adalah Tiongkok, sedangkan deterrer adalah Indonesia. Kondisi hubungan Tiongkok-Indonesia sekarang bisa dibilang berada pada skenario gap kekuatan militer cukup tinggi namun tidak dibarengi kemauan bermusuhan yang tinggi dari sisi Tiongkok, berkat terjalinnya hubungan diplomatik yang baik di antara kedua negara. Jauhnya perbedaan kekuatan militer menjadikan upaya penangkalan Indonesia kurang berhasil dengan risiko moderat. Upaya penangkalan yang tidak menemui sasaran dapat dilihat dari masih seringnya kapal-kapal penjaga pantai Tiongkok ber-seliweran di zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia.

Menghadapi situasi demikian, Indonesia memiliki tiga pilihan. Pertama, menempatkan situasi hubungan dengan Tiongkok pada kuadran risiko rendah. Skenario ini mempersyaratkan Indonesia meniru cara-cara Taiwan dalam menghadapi Tiongkok. Indonesia harus beraliansi dengan Amerika dengan mengharapkan bantuan senjata dan perlindungan Amerika Serikat dan sekutunya apabila terlibat konflik dengan Tiongkok. Skenario kedua adalah mempertahankan status quo dengan cukup menempatkan diri pada situasi risiko moderat. Skenario terakhir adalah membangun kekuatan hingga paling tidak seimbang dengan tetap menjaga hubungan bilateral dengan China tetap sehat. Situasi no risk ini didapat dengan cara melakukan modernisasi persenjataan dengan tetap menjaga hubungan baik dengan Tiongkok.

Tiga alternatif pilihan tersebut menempatkan skenario ketiga sebagai pilihan yang ideal bagi Indonesia. Skenario pertama mustahil untuk diambil oleh Indonesia mengingat secara historis Indonesia selalu mengambil jalan politik luar negeri bebas aktif yang tidak pernah memihak blok apapun. Skenario kedua, status quo, masih menempatkan Indonesia dalam risiko yang lumayan tinggi. Skenario terakhir tergolong gampang-gampang susah bagi Indonesia. Untuk bisa membangun kekuatan militer yang seimbang dengan Tiongkok sambal mempertahankan hubungan baik bisa dilakukan dengan beraliansi dengan Tiongkok itu sendiri, yang juga tidak mungkin dilakukan. Yang bisa dilakukan oleh Indonesia adalah melaksanakan modernisasi senjata secara “halus” dengan cara memprioritaskan pembangunan sistem anti-access area denial (A2AD) di jalur pendekatan utara sambil terus meningkatkan hubungan bilateral dengan Tiongkok.

Pembangunan sistem A2AD sebagai pilar utama strategi penangkalan

Sistem pertahanan negara yang bertumpu pada A2AD ditawarkan di sini karena sifatnya yang tidak provokatif, cost efficient, dan cukup memiliki daya pukul yang mematikan. Doktrin pertahanan yang menitikberatkan sistem A2AD ini juga diterapkan oleh Tiongkok dalam menghadapi ancaman dari Amerika Serikat. Penggelaran sistem pertahanan rudal jarak jauh di darat cenderung tidak provokatif karena penempatannya yang tidak secara langsung berhadapan dengan musuh/bakal musuh. Sistem pertahanan ini juga mampu untuk digelar sepanjang tahun dengan biaya operasional dan perawatan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan yang dikeluarkan untuk KRI atau pesawat tempur. Yang paling penting, baterai-baterai pertahanan darat dan udara memiliki daya pukul yang sama mematikannya dengan pesawat tempur dan KRI asalkan didukung dengan sistem penginderaan yang mumpuni.

Peningkatan kekuatan militer dengan menitikberatkan pada kemampuan A2AD merupakan upaya realistis yang bisa dilakukan oleh Indonesia yang selalu dihadapkan dengan kendala finansial. Dengan anggaran pertahanan yang masih di bawah 1% PDB tentunya berat untuk bisa membangun kekuatan udara dan laut yang ideal. Karakter medan pertempuran di Laut Natuna Utara mempersyaratkan keterlibatan angkatan laut dan udara yang dominan. Tidak seperti pasukan di darat, angkatan udara dan laut merupakan matra yang membutuhkan alutsista berteknologi tinggi, dan tentunya anggaran yang besar. Tiongkok saja memiliki anggaran pertahanan sebesar 215,5 miliar USD, lebih dari 24 kali lipat anggaran pertahanan Indonesia (The Military Balance 2024). Dengan sumber daya yang njomplang tersebut tentunya mustahil untuk bisa menyamai kekuatan militer Tiongkok sehingga dibutuhkan strategi yang tidak biasa-biasa saja. Sistem A2AD adalah jawabannya.

Kondisi geografis wilayah Indonesia di mandala Natuna sangat memungkinkan untuk menggelar baterai-baterai rudal pertahanan pantai dan sistem pertahanan udara. Sejauh ini TNI memang telah fokus untuk meningkatkan sistem pertahanan terintegrasi di Pulau Bunguran Besar, Natuna dengan menggelar beberapa radar udara dan radar permukaan yang terintegrasi dengan sistem artileri medan dan artileri pertahanan udara milik Batalyon Komposit I Garda Pati TNI AD. Sistem pertahanan pantai dan udara dapat juga digelar di pulau-pulau kecil di wilayah Natuna seperti Pulau Sekatung, Pulau Laut dan pulau-pulau lainnya yang tersebar di Laut Natuna. Pada praktiknya, operasional sistem senjata A2AD ini dapat dilaksanakan oleh Korps Marinir TNI AL maupun TNI AD. Keberadaan pertahanan rudal TNI di wilayah Natuna sebagai satuan pemukul di layer pertahanan terluar dalam doktrin pertahanan berlapis mampu menjadikan medan pertahanan luar sebagai killing ground musuh.

Selain kuantitas, sistem pertahanan rudal TNI perlu juga ditingkatkan kualitasnya. Sistem pertahanan TNI sekarang yang masih bertumpu pada rudal dan roket jarak pendek dan menengah, perlu ditingkatkan menjadi sistem pertahanan jarak jauh dengan jarak jangkau lebih dari 200 nm yang bisa meng-cover seluruh ZEE Indonesia. Penyebaran alutsista sistem pertahanan pantai dan udara di pulau-pulau kecil akan menyulitkan musuh untuk melokalisir keberadaan baterai-baterai tersebut dan tentunya akan menimbulkan efek penggentar yang berarti.

Penguatan diplomasi pertahanan dalam mendukung upaya penangkalan

Upaya untuk menjaga intensi permusuhan Tiongkok tetap rendah bisa dilakukan dengan menjaga hubungan baik dengan semua negara di kawasan, terutama dengan negara target. Politik luar negeri Indonesia perlu dijaga untuk tetap berprinsip bebas aktif dengan merangkul semua negara untuk saling bekerjasama dan tidak memihak salah satu blok. Seperti para liberalis dalam teori hubungan internasional yang meyakini bahwa konektivitas antarnegara akan melahirkan dunia yang aman, politik luar negeri bebas aktif Indonesia memiliki banyak sekali ruang untuk mewujudkan kerjasama dengan semua pihak.

Di samping peningkatan hubungan ekonomi Indonesia-Tiongkok yang semakin erat, aspek diplomasi pertahanan merupakan salah satu bidang yang masih bisa ditingkatkan lagi. Diplomasi pertahanan meliputi kegiatan confidence building measures (CBM), peningkatan kemampuan pertahanan, dan peningkatan industri pertahanan (Syawfi 2009). Dalam ketiga kategori tersebut, diplomasi pertahanan Indonesia masih lebih condong dilakukan terhadap negara-negara barat seperti Amerika Serikat dan Australia. Dalam bidang CBM misalnya, TNI lebih banyak mengirim perwiranya untuk menempuh pendidikan di Australia daripada ke Tiongkok. Data dari Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) juga menunjukkan dominasi eksport Amerika Serikat ke Indonesia daripada Tiongkok. Data dari tahun 2000 hingga 2023 menunjukkan import Indonesia dari Tiongkok hanya didominasi oleh senjata dan rudal, sedangkan Amerika selain senjata, juga rajin mengirim helikopter, pesawat, radar, UAV, dan lain-lain ke tanah air (‘SIPRI Arms Transfers Database’ 2024).

Untuk lebih meningkatkan hubungan dengan Tiongkok selaku target diplomasi pertahanan, TNI bisa lebih meningkatkan upaya CBM dengan memperbanyak mengirim perwira, bintara, dan tamtama untuk belajar di negeri tirai bambu tersebut, baik dalam rangka memperdalam ilmu militer maupun mengambil gelar Master atau Doktoral. TNI juga bisa bermitra dengan Tiongkok dan negara produsen lainnya dalam membangun sistem A2AD. Selain itu, TNI juga bisa berpartisipasi dalam upaya pembinaan hubungan luar negeri yang diselenggarakan oleh Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dengan memanfaatkan TNI AL sebagai diplomat di bidang pertahanan untuk lebih mempererat hubungan antarnegara dengan memperbanyak kunjungan kapal perang ke Tiongkok dan negara-negara sahabat lainnya.

Pada praktiknya, TNI AL harus mulai mengubah pola operasinya dari operasi dalam negeri menjadi operasi yang berfokus ke luar. Operasi pengamanan Laut Natuna Utara bisa dikembangkan menjadi operasi siaga tempur laut dengan ditambahkan kegiatan muhibah ke negara-negara tetangga yang dibarengi dengan latihan bersama dalam rangka memperkuat upaya diplomasi pertahanan Indonesia. Kehadiran unsur TNI AL di kawasan akan dipersepsikan oleh negara tetangga sebagai partisipasi aktif dalam menjaga perdamaian di kawasan.

Kunjungan kapal perang merupakan metode klasik deterrence yang telah dilaksanakan sejak ratusan tahun yang lalu. Selain dapat mempererat hubungan bilateral, kehadiran kapal perang di sebuah negara lain dapat dibaca sebagai isyarat kesiapan militer sebuah negara, khususnya angkatan lautnya yang diharapkan dapat mengurangi potensi tindakan agresif di masa depan. Namun yang paling penting, kunjungan sebuah kapal perang merupakan isyarat tulus persahabatan dengan tujuan akhir meniadakan permusuhan.

Peningkatan hubungan dengan semua negara, khususnya dengan Tiongkok, dan penerapan politik luar negeri bebas aktif yang konsisten akan menjaga niat permusuhan negara tersebut tetap rendah yang pada akhirnya akan menghasilkan perdamaian kawasan. Hal ini tentunya sejalan dengan semangat UUD 1945 yang mengamanatkan aktifnya Indonesia dalam menjaga perdamaian dunia.

Kesimpulan

Kedaulatan NKRI di Laut Natuna Utara dapat dijaga salah satunya dengan menerapkan strategi asymmetric deterrence. Asymmetric deterrence merupakan upaya penangkalan konvensional (non-nuklir) yang dilaksanakan oleh negara dengan kekuatan militer yang relatif lebih lemah, yang tidak menganut sistem aliansi seperti Indonesia. Kunci dari upaya penangkalan yang dapat dilakukan oleh Indonesia terhadap Tiongkok selaku negara target adalah dengan pembangunan kekuatan militer yang tidak provokatif sembari menjaga niat permusuhan negara target deterrence tetap minimal dengan cara mempererat hubungan bilateral.

Salah satu cara modernisasi senjata yang tidak mencolok adalah dengan membangun sistem pertahanan rudal jarak jauh sesuai doktrin A2AD. TNI perlu untuk memperkuat sistem pertahanannya dengan memasang rudal-rudal jarak jauh, baik rudal permukaan maupun rudal antiudara di pulau-pulau kecil di wilayah Natuna. Fokus perkuatan baterai pertahanan pantai relatif lebih bisa dilaksanakan oleh Indonesia karena lebih cost efficient, terutama di dukungan logistiknya yang tidak sebesar biaya pemeliharaan kapal perang ataupun pesawat tempur namun tetap memiliki daya pukul yang sama mematikanya dengan alutsista konvensional. Kehadiran sistem A2AD di pintu utara Indonesia akan membuat TNI lebih kredibel dalam menjaga kedaulatan serta meningkatkan wibawa negara.

Selain pembangunan kekuatan pertahanan, Indonesia perlu untuk menjaga potensi konflik tetap terkontrol yang diwujudkan dengan meningkatkan upaya-upaya diplomasi di segala aspek, termasuk diplomasi pertahanan. Kemenlu perlu mengintegrasikan TNI sebagai alat diplomasi yang mendukung kebijakan politik luar negeri negara. TNI AL yang secara asasi merupakan diplomat militer dengan fungsi diplomasi yang diembannya dapat dikerahkan untuk melaksanakan latihan-latihan bersama sekaligus port visit di negara-negara sahabat di kawasan. Kehadiran KRI di sebuah pelabuhan negara asing merupakan upaya peningkatan CBM yang dapat mempererat hubungan antarnegara, sekaligus memberikan sinyal kesiapan alutsista TNI AL sebagai upaya deterrence.

Menutup tulisan ini, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, sudah sewajarnya Indonesia mereformasi paradigma pertahanannya dengan lebih fokus membangun pagar yang kokoh untuk mencegah musuh memasuki pekarangan rumah kita. Kekuatan darat, laut, dan udara sudah seharusnya diprioritaskan untuk menghadapi trouble spot di Laut Natuna Utara. Militer yang kuat berasaskan outward looking merupakan keniscayaan yang harus dimiliki oleh negara yang digadang-gadang menjadi kekuatan ekonomi terbesar keempat dunia ini. Seperti adagium klasik yang sering kita dengar: si vis pacem para bellum, apabila ingin damai maka bersiaplah untuk berperang. Meskipun demikian, militer yang besar dan kuat bukan ditujukan untuk gagah-gagahan apalagi untuk mengintimidasi negara tetangga, melainkan untuk menjaga damainya dunia agar semua negara bisa tumbuh bersama.

Disclaimer: seluruh opini dalam tulisan ini adalah pendapat pribadi dari penulis, tidak mewakili institusi penulis.

Referensi:

Freedman, Lawrence. 2009. Deterrence. Reprinted. Cambridge: Polity Press.

Gomez, Jim. 2024. ‘Philippine and Chinese Vessels Collide in Disputed South China Sea and 4 Filipino Crew Are Injured’. AP News. 5 March 2024. https://apnews.com/article/philippines-china-south-china-sea-collision-e69d9506e85d1d23685db4f220b50d71.

Miller, Chris. 2022. Chip War: The Fight for the World’s Most Critical Technology. London New York Sydney Toronto New Delhi: Simon & Schuster.

‘SIPRI Arms Transfers Database’. 2024. SIPRI. 2024. https://www.sipri.org/databases/armstransfers.

Syawfi, Idil. 2009. ‘Aktifitas Diplomasi Pertahanan Indonesia Dalam Pemenuhan Tujuan-Tujuan Pertahanan Indonesia (2003-2008) [Indonesia Defence Diplomacy towards the Fulfillment of Indonesia Defence Objectives (2003-2008)]’. Master’s Thesis, Jakarta: Indonesia University. https://lib.ui.ac.id/file?file=digital/2023-2/123396-T26251-Idil%20Syawfi.pdf.The Military Balance. 2024. Abingdon, Oxon: Routledge.

Share :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *