Menari di Khatulistiwa
Khatulistiwa adalah takdir Indonesia, tempat di mana republik ini berdiri. Julukan zamrud khatulistiwa bagi Indonesia semakin mengisyaratkan keberuntungan yang didapat negeri ini sejalan dengan lokasi geografinya yang strategis ini. Khatulistiwa, atau equator dalam bahasa Inggris, merupakan garis maya mendatar yang membagi bumi yang kita tinggali ini sama besar utara dan selatannya. Kata khatulistiwa sendiri merupakan kata serapan dari bahasa Arab yaitu Khatt yang berarti garis dan Al-istiwa yang artinya sejajar. Garis mendatar yang disebut garis lintang itu, atau lattitude, bersama dengan garis bujur (longitude), menjadi penunjuk sebuah lokasi di permukaan bumi.
Menara Eiffel di Paris yang menjadi pusat dari Olimpiade 2024 berada pada koordinat 48° 52’ 29,99” N 2°17’40,20” E. Artinya, menara yang katanya tempat terbaik untuk melamar ini berada di sekitar 5.430,5 km di utara garis 0°. Perhitungan ini didapat dengan mempertimbangkan fakta bahwa satu keliling penuh bumi adalah sepanjang 40.000 km dan satu lingkaran penuh bola adalah 360 derajat, maka diketahui bahwa 1 derajat adalah 111,11 km. Selanjutnya, jika 1 derajat adalah 60 menit, dan 1 menit adalah 60 detik, maka 48 derajat 52 menit dan 29,99 detik setara dengan 5.430,5 km.
Garis khatulistiwa ini spesial terutama bagi bangsa barat yang bertanah kelahiran jauh dari sumbu 0° ini. Bayangkan, pada era kapal layar, para penjelajah samudera dari London harus berlayar sejauh 5.723 km ke selatan, atau sekitar 22 hari, untuk mencapai garis equator.
Pun demikian dengan para pelaut Belanda. Saat menguasai kepulauan Indonesia, tak lupa mereka mendirikan sebuah tugu atau monumen tepat di lintang 0°. Saat ini, tugu khatulistiwa tersebut dapat kita temukan di kota Pontianak, yang membuatnya dijuluki sebagai Kota Khatulistiwa. Tidak ada kota besar lain di Indonesia yang berada tepat di garis khatulistiwa. Tugu tersebut masih berdiri kokoh, bahkan semakin terjaga, berkat perhatian dari pemerintah kota setempat. Sekarang, Tugu Khatulistiwa dikelilingi sebuah taman yang nyaman untuk menghabiskan waktu sore bersama keluarga. Jaraknya yang hanya sekitar 5 km dari pusat kota Pontianak dan tepat di pinggir Sungai Kapuas menjadi area ini nyaman untuk dikunjungi. Masuk ke area taman hanya dikenai biaya parkir, sedangkan untuk masuk ke dalam Tugu Khatulistiwa dikenakan biaya 10.000 rupiah per orangnya.
Tugu Khatulistiwa dibangun oleh Belanda pada tahun 1928. Saat itu satu tim ahli geografi Belanda melakukan ekspedisi untuk mencari titik 0°. Bentuk awal dari Tugu Khatulistiwa adalah berupa sebuah tonggak dengan anak panah mengarah ke barat yang sepertinya dimaksudkan menunjuk arah Belanda. Dua tahun kemudian, tugu yang telah dibangun tersebut disempurnakan dengan manambah lingkaran yang mengelilingi anak panah yang merepresentasikan bumi. Pada tahun 1938, tugu tersebut disempurnakan lebih lanjut oleh arsitek Friedrich Silaban. Pak Silaban ini yang mendesain Gelora Bung Karno, Monumen Nasional, serta Masjid Istiqlal.
Bangunan asli tugu tersebut berupa 4 buah tonggak kayu belian (kayu besi) dengan tinggi tonggak bagian depan 3,05 meter dan 4,40 meter untuk tonggak bagian belakangnya. Terdapat plat lingkaran yang mengelilingi panah bertuliskan EVENAAR, yang artinya Equator dalam bahasa Belanda.
Tahun 1991, pemerintah Indonesia membangun sebuah kubah sehingga menempatkan tugu aslinya sekarang berada di dalam ruangan.
Uniknya, letak tugu khatulistiwa asli tidak tepat berada pada koordinat lintang 0°. Pada tahun 2005, tim dari BPPT mencoba untuk mengonfirmasi ketepatan pengukuran Belanda zaman dulu. Hasilnya ternyata mengejutkan. Koordinat Tugu Khatulistiwa ternyata berada pada 0°0’3,809” N, alias 117,56 meter sedikit ke utara. Menurut GPS Iphone saya, tugu asli berada kurang 4 detik ke selatan, atau sekitar 123 meteran.
Sekarang sudah dibangun monumen baru yang tepat berada pada lintang 0°. Posisinya lebih ke selatan, lebih dekat dengan Sungai Kapuas. Dari tugu asli jika hendak menuju ke monumen baru kita harus melewati deretan pujasera yang menjual berbagai macam makanan. Satu yang menggoda saya adalah mie sagu. Namun sayang belum kesampaian untuk mencobanya.
Jalan sedikit beberapa meter ke selatan adalah Sungai Kapuas dengan jogging track sepanjang kurang lebih 200 meteran. Sunset pun terlihat dari tempat tersebut, menambah indahnya Sungai Kapuas. Sungai terbesar se-Kalimantan ini cukup lebar, hingga 500 meter, sehingga menjadikannya salah satu sungai tersibuk di tanah air. Kapal-kapal tongkang berlalu lalang di sungai itu, termasuk juga kapal-kapal ferry yang menjadi andalan masyarakat setempat untuk pergi ke Jakarta atau Surabaya. Pemandangan kesibukan Sungai Kapuas benar-benar mencerminkan kebaharian masyarakat setempat, sebuah bangsa maritim yang menghuni daerah khatulistiwa.
Di kalangan para pelaut, garis khatulistiwa adalah sakral. Bahkan sudah menjadi tradisi hingga sekarang, bahwa para pelaut yang pertama kali melintas garis equator harus menjalani upacara mandi khatulistiwa. Tradisi ini sudah berlangsung selama 400 tahun yang lalu di kalangan Angkatan Laut Inggris. Tradisi tersebut bertujuan untuk mengetes para pelaut baru (pollywogs) terhadap segala dinamika kehidupan di laut yang tidak mudah. Para pelaut yang telah berhasil melewati prosesi mandi khatulistiwa ini diakui sebagai pelaut berpengalaman, atau yang disebut sebagai shellbacks.
Kenapa pembaptisan para pelaut dilakukan di garis khatulistiwa? Seperti yang telah saya tulis di atas, bahwa para pelaut Inggris harus berlayar selama lebih dari 3 minggu terlebih dahulu untuk bisa mencapai lintang 0° tersebut. Zaman dahulu, pelayaran sejauh 5.700 km tidaklah mudah. Sudah pasti para pelaut itu dihajar oleh ganasnya Samudera Atlantik sebelum bisa mencapai garis khatulistiwa.
Dalam tradisi mandi khatulistiwa, pembaptisan dilakukan oleh Dewa Neptunus, sang penguasa laut. Tokoh lain yang berperan adalah Davy Jones, seorang tokoh pelaut veteran yang melambangkan kedalaman mitos di lautan. Dalam legenda Australia, Davy Jones adalah seorang bajak laut yang ditakuti, yang tenggelam ke dasar laut saat menyeberangi garis khatulistiwa. Kehadiran tokoh-tokoh tersebut semakin menambah kemeriahan acara tradisi mandi khatulistiwa.
Buat kita orang Indonesia, seharusnya garis khatulistiwa bukanlah sesuatu yang spesial. Karena pelaut Pontianak saja sudah sejak lahir berada di garis equator. Namun karena mandi khatulistiwa sudah menjadi tradisi di kalangan pelaut internasional yang dipopulerkan oleh Inggris, maka tradisi serupa juga diadopsi oleh kalangan pelaut di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.Saya sendiri mengalami prosesi mandi khatulistiwa saat berlayar dengan KRI Dewa Ruci saat saya sedang dalam pelayaran muhibah Kartika Jala Krida tahun 2005 yang lalu. Saat saya onboard di kapal perang Prancis BPC Dixmude tahun 2012, acara tradisi mandi khatulistiwa pun juga dilakukan oleh para kadet Prancis teman-teman saya waktu itu.
Pada akhirnya, garis khatulistiwa menempatkan diri kita pada sebuah persimpangan belahan bumi utara dan selatan, tempat di mana kehangatan matahari tidak pernah mengenal bias, dan bumi yang kita tinggali ini berputar dengan harmoni. Tak hanya itu, bumi khatulistiwa memberikan kesempatan yang terang benderang bagi mereka yang mau menari di sana.