Mengenal Bisnis Minyak Goreng: Studi Kasus Salim Ivomas Pratama
Awal tahun ini Indonesia diramaikan oleh hiruk-pikuk kelangkaan minyak goreng yang pada akhirnya melejitkan harganya. Hingga pemerintah turun tangan dengan berbagai jurusnya, mulai dari penetapan kewajiban penjualan dalam negeri produk CPO, penetapan harga eceran tertinggi minyak goreng, hingga intervensi berupa subsidi langsung ke produk minyak goreng curah. Terakhir, pemerintah menaikkan pajak ekspor untuk mendukung subsidi minyak curah.
Sudah banyak analis yang membahas bagaimana kelangkaan ini terjadi di negeri produsen minyak sawit nomor satu dunia. Kali ini saya akan coba menulis seluk beluk bisnis sawit, mulai dari model bisnisnya, supply-demand, hingga persaingan pasarnya. Dalam tulisan kali ini saya hanya akan membahas PT Salim Ivomas Pratama, Tbk, salah satu perusahaan minyak goreng terbesar di nusantara dengan produk jagoannya yang semua emak-emak pasti tahu: Bimoli.
Dengan membaca ini, saya harap teman-teman bisa mendapat perspektif yang lebih luas dalam memandang saham sebuah perusahaan produsen minyak goreng.
PT Salim Ivomas Pratama, Tbk. didirikan pada tahun 1992. Perusahaan yang melantai di bursa saham Indonesia pada tahun 2011 dengan ticker SIMP ini merupakan sebuah perusahaan agribisnis yang terintegrasi. Maksud dari terintegrasi di sini adalah perusahaan terlibat dari hulu sampai ke hilir, dari mulai pembibitan, penanaman, hingga pengolahan menjadi minyak goreng. Selain itu, Salim Ivomas mendiversifikasi bidang usahanya dengan merambah pada perkebunan karet, tebu, teh, hingga produksi coklat dan bisnis konstruksi jalan raya serta persewaan alat berat.
Proses integrasi dan diversifikasi bisnis Salim Ivomas dilakukan secara bertahap. Sejak diakuisisi oleh Indofood pada tahun 1997, SIMP mulai rajin mengepakkan sayapnya, dimulai dengan mengakuisisi beberapa perkebunan sawit dan PT PP London Sumatera (tahun 2007). Akuisisi Lonsum ini merupakan investasi terbesar SIMP hingga saat ini. Terakhir, Salim Ivomas secara patungan mendirikan perusahaan pabrik coklat yang mulai beroperasi tahun 2019 yang lalu.
Secara kepemilikan, Salim Ivomas merupakan bagian dari Indofood Agri Resources Ltd. yang merupakan anak perusahaan dari Indofood. Kepemilikan publik di SIMP ini hanya sebesar 19,86%.
Secara umum lini usaha Salim Ivomas dibagi menjadi dua: divisi perkebunan dan divisi minyak dan lemak nabati (EOF/edible oil and fat). Per akhir tahun 2020, kontribusi pendapatan terbesar disumbang oleh divisi EOF (83%), disusul kemudian oleh divisi perkebunan yang menyumbang sisanya, yang bila dilihat lagi secara detail berasal dari produk kelapa sawit yang menyumbang 10% pendapatan dan perkebunan dan usaha lainnya (7%).
Produk yang dihasilkan oleh divisi EOF adalah minyak goreng, margarin, dan mentega (shortening). Untuk produk minyak goreng, terdapat merk Bimoli, Bimoli Spesial, Delima, dan Happy. Sedangkan untuk produk mentega dan sejenisnya dikenal merk Amanda, Palmia, dan Royal Palmia. Produk-produk Salim Ivomas ini cukup dikenal di kalangan masyarakat umum berkat saluran distribusi Indofood yang luas, termasuk PT Indomarco dengan Indomaret-nya.
Memahami model bisnis Salim Ivomas secara komprehensif berarti harus juga memahami bisnis Lonsum di sisi hulunya. Apabila tidak menganggap penjualannya ke Salim, maka Lonsum berkontribusi sebesar 48% pendapatan.
Minyak goreng nabati bisa dihasilkan dari banyak tanaman. Data tahun 2020 menunjukkan bahwa 34% dari kebutuhan minyak nabati dunia berasal dari CPO dan minyak inti sawit (palm kernel oil). Selain kelapa sawit, minyak goreng bisa didapat dari kedelai, biji bunga matahari, kacang, zaitun, biji kapas, dan biji rapa (rapeseed). Namun dari kesemua tanaman tadi, sawitlah yang paling efisien. Efisien dalam arti yang paling menghasilkan di antara tanaman-tanaman penghasil minyak yang lain. Satu hektar kebun sawit bisa menghasilkan sampai 3,8 ton minyak. Bandingkan dengan tanaman lain yang hanya menghasilkan kurang dari 1 ton minyak per hektar.
Tanaman kelapa sawit hanya dapat ditanam di daerah tropika basah. Itulah yang membuat Indonesia kini menjadi negara penghasil sawit terbesar di dunia. Untuk Salim Ivomas, 30% kebutuhan bahan baku CPO didapat dari PT Lonsum, anak usahanya. Kebun sawit internal yang lain menyumbang 42% kebutuhan CPO, sedangkan 28% sisanya dibeli dari kebun eksternal. Salim Ivomas per tahun 2020 memiliki 253.061 hektar perkebunan sawit yang tersebar di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat. Total ada 93 perkebunan sawit yang tergabung ke dalam grup Salim Ivomas.
Proses paling awal dalam bisnis perkebunan sawit setelah akuisisi tanah adalah penanaman bibit sawit. Proses menanam pohon sawit ini memakan waktu hingga kurang lebih 4 tahun sebelum benar-benar bisa dipanen. Selama itu pula petani sawit melakukan pemeliharaan, termasuk memberi nutrisi. Setelah “cukup umur”, sawit baru bisa dipanen. Panen sawit dilakukan setiap 7 sampai 10 hari. Hasil buah sawit disebut tandan buah segar (TBS), atau fresh fruit bunches (FFB).
TBS yang dipanen selanjutnya diangkut oleh truk atau mobil Hardtop yang dimodif menuju ke pabrik CPO atau yang biasa disebut mills. CPO atau minyak mentah sawit yang bagus adalah yang didapat dari TBS yang belum lama dipanen. Idealnya sawit yang telah dipanen harus sudah diolah menjadi CPO dalam waktu kurang dari 24 jam. Lebih dari itu akan membuat CPO yang dihasilkan memiliki kadar FFA (free fatty acid) yang tinggi. FFA tinggi akan mengurangi harga jual CPO. Kadar FFA ideal berada di rentang 2 sampai 5%. Oleh karena itu penting untuk memiliki pabrik CPO yang dekat dengan lokasi perkebunan untuk memaksimalkan Kualitas CPO. Salim Ivomas memiliki 27 mills yang tersebar di
Oh ya, tidak semua CPO yang diolah Salim Ivomas berasal dari kebun sendiri. Pada tahun 2020, kurang lebih 18% dari kebutuhan bahan baku CPO didapat dari perkebunan eksternal. Untuk diketahui, berdasarkan pengalaman saya blusukan ke kebun sawit di wilayah Aceh, pada masa harga sawit tinggi-tingginya seperti sekarang ini, para petani sawit menjual sawit mereka ke perusahaan besar hingga seharga Rp. 2.500 sampai 2.800-an per kilonya. Pada musim jelek, TBS hanya dihargai Rp. 700.
Sesampainya di mills, TBS “diperas” untuk diambil minyaknya. Di sini investor perlu mencermati efektivitas pabrik minyak yang dimiliki yang disebut dengan oil extraction rate (OER). Salim Ivomas pada tahun 2020 OER-nya 19,9%. Artinya, dari 100 kg TBS yang diolah, dihasilkan 19,9 kg CPO. Lonsum, selaku perusahaan anak dari Salim, memiliki OER 22,3%. Lebih baik. Berarti mills yang bukan milik Lonsum namun tergabung ke dalam grup Salim Ivomas memiliki OERyang lebih rendah. Standardnya OER adalah berada di kisaran 20%.
Selain itu perlu juga dicermati optimalisasi penggunaan mills. Mills utilization Salim Ivomas berada pada angka 53%. Artinya, pada tahun 2020, grup Salim Ivomas hanya mampu mengolah TBS sebanyak 53% dari total kapasitas pengolahan TBSyang 7 juta ton per tahun. Angka yang bagus tentunya yang lebih tinggi, paling tidak 65 – 70%.
Setelah jadi CPO, CPO yang dihasilkan akan dibawa ke pabrik penyulingan minyak untuk dijadikan minyak goreng. CPO refinery Salim Ivomas berjumlah 5 yang tersebar di Jakarta (2 pabrik), Surabaya, Medan, dan Bitung. Lokasi refinery yang dekat dengan CPO mill hanya Medan. Sisanya bertempat lumayan jauh. Bahkan ada pabrik penyulingan yang terletak di Sulawesi Utara dan Surabaya, padahal jarak terdekat CPO mills milik Salim Ivomas berada di Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan. Hal ini menyiratkan kebutuhan effort lebih untuk menggeser CPO dari mills ke refinery yang secara linear akan meningkatkan biaya produksi minyak goreng.
Pabrik penyuling CPO tidak hanya menghasilkan minyak goreng. Umumnya pengolahan CPO di refinery akan menghasilkan 73% olein, 21% stearin, 5% palm fatty acid distillate, dan 0,5% buangan. Olein ini yang menjadi minyak goreng, sedangkan margarin dan mentega dihasilkan dari stearin. Dari data ini akhirnya saya bisa mengestimasi jumlah produksi minyak goreng Salim Ivomas pada tahun 2020, yaitu sekitar 490,3 juta liter. Utilisasi refinery milik Salim Ivomas tergolong rendah, hanya sebesar 49% dari total kapasitas 1,7 juta ton CPO per tahun.
Setelah jadi minyak goreng dan produk lainnya, Salim Ivomas mendistribusikan produknya melalui jaringan distribusinya yang luas yang sama-sama berada dalam satu grup Indofood.
Setelah mengerti bagaimana proses produksi minyak goreng, investor tentunya perlu tahu bagaimana prospek bisnis minyak goreng di masa depan. Untuk mengerti itu, kita perlu tahu kondisi supply dan demand, baik dalam skala global maupun lingkup dalam negeri.
Berdasarkan data yang saya dapat dari Buletin Pangan Indonesia tahun 2020 terbitan Kementerian Pertanian, konsumsi minyak nabati dunia untuk oleofood (minyak goreng dan margarin) rata-rata sebesar 19 kg per kapita. Diprediksi konsumsi minyak goreng di masa depan mengalami peningkatan sebesar rata-rata 2,3% per tahun. Perkiraan konsumsi minyak goreng per kapita Indonesia pada tahun 2020 adalah 11,58 liter per tahun. Sehingga dapat kita perkirakan konsumsi minyak goreng dalam negeri tahun 2020 Indonesia adalah 3.112 juta liter. Kebutuhan minyak nabati global sendiri diperkirakan akan mencapai 125 juta ton pada tahun 2050.
Dari sisi supply, produksi CPO Indonesia tahun 2020 adalah 17.349 juta ton, yang menghasilkan sekitar 6,6 juta kilo liter (sisanya dijadikan produk lain ataupun diekspor sebagai CPO). Kapasitas produksi minyak goreng Indonesia sendiri adalah 15,3 juta ton. Kapasitas produksi SIMP sendiri 1,7 juta ton (11% dari kapasitas nasional), yang menghasilkan sekitar 7% dari total produksi minyak goreng Indonesia.
Market share dalam negeri sampai saat ini masih dipegang oleh Grup Wilmar dengan merk Sania-nya. Sementara produk-produk Salim Ivomas menempati rangking 2. Urutan selanjutnya adalah grup Musim Mas, disusul dengan Golden Eagle. Tidak ada data yang pasti mengenai angka-angka market share minyak goreng domestik ini, memang. Namun bila melihat reputasi Bimoli di pasaran maka seharusnya data di atas bisa menggambarkan pangsa pasar secara umum.
Setelah mengetahui penjelasan panjang lebar tentang lini bisnis Salim Ivomas serta prospek bisnis minyak goreng di masa depan, lantas apakah prospek apabila kita memutuskan untuk berinvestasi di saham bisnis minyak goreng?
Yang jelas, bisnis minyak goreng ini tergantung bisnis yang siklikal, mengikuti harga komoditas dunia yang naik turun. Minyak goreng sendiri merupakan “hajat hidup orang banyak” yang sering menjadi obyek intervensi pemerintah, seperti HET (harga eceran tertinggi), DMO, dll. Oleh karena itu menurut saya produsen minyak goreng kurang memiliki pricing power. Apalagi SIMP yang lebih dari 80% produknya dijual di dalam negeri. ASP minyak goreng SIMP pada tahun sekitar Rp. 23.350 per liter yang hanya menghasilkan NPM 1,6%. Bagaimana jika ASP SIMP mengikuti HET pemerintah Rp. 14.000 per liter?
Di luar itu, perkembangan luas perkebunan sawit yang tergabung dalam grup Salim Ivomas tidak mengalami penambahan. Dengan mill utilization capacity hanya 53%, tentunya Salim masih perlu menambah lagi TBS untuk diolah. Kalau tidak dengan menambah lahan sendiri, maka penambahan kebutuhan TBS bisa dilakukan lewat kebun eksternal, tentunya dengan biaya yang sedikit lebih tinggi. Kapasitas pengolahan minyak goreng juga masih dapat digenjot lebih jauh lagi untuk bisa memenuhi kebutuhan masyarakat akan minyak goreng yang semakin meningkat.
Akhirnya, keputusan investasi tetap berada di tangan anda.