Eeasy Reads

Ketak-ketik di Sabang Mawang

Dua hari ini kapal saya sandar di Pulau Sabang Mawang, sebuah pulau tempat wilayah Kecamatan Pulau Tiga. Sesuai namanya, area Kecamatan Pulau Tiga meliputi Pulau Sabang Mawang, Pulau Kumbik, dan Pulau Sedanau. Sabang Mawang sendiri secara administratif merupakan nama sebuah desa, di samping lima desa lainnya yang bertempat di pulau itu. Penduduk yang menempati pulau ini berjumlah sekitar 5-6 ribu orang. Cukup sedikit bagi pulau seluas Sabang Mawang ini.

Seperti layaknya masyarakat pesisir, penduduk di Pulau Sabang Mawang dominan tinggal di atas laut. Meskipun tidak semasif penduduk Pulau Sedanau, hampir mayoritas penduduk pulau ini membangun rumah di atas laut. Termasuk membuat jalan cor di atas laut dengan tonggak-tonggak penopangnya.

Rumah di atas laut

Kenapa mereka nyaman tinggal di atas laut ada beberapa penjelasannya. Yang paling sering terdengar adalah demi menghindari pajak bumi dan bangunan (PBB). Karena kalau memiliki rumah di atas laut, berarti tidak dianggap memiliki rumah di darat sehingga akan terhindar dari kewajiban membayar pajak. Namun menurut saya, kebiasaan orang pesisir Natuna tinggal di atas laut adalah memang sudah karakter mereka sejak dahulu. Sebagai bangsa pelaut, tidak heran mereka nyaman tinggal di rumah yang berdiri di atas laut. Tinggal di atas laut memudahkan mata pencaharian mereka. Perahu mereka bisa diparkir tepat di samping rumah, sehingga sewaktu-waktu mereka mau melaut untuk mencari ikan tidak perlu jauh-jauh berjalan. Selain itu, biar mereka dekat dengan laut untuk memancing. Suatu ketika saya pernah mendapati ada seorang anak yang memancing di samping kapal. Kepo lah saya.

“Dik, kok rajin mancing? emang buat apa?” tanya saya penasaran.

“Buat makan, Oom,” katanya.

“Trus yang masak siapa?” korek saya lagi.

“Mamak,” jawabnya.

“Kamu gak bisa masak?” Lanjut saya.

“Nggak Oom. Saya cuman mancing aja buat makan seharian,” timpalnya sambil terus asyik memancing.

Saat itu dia dapat sekitar 4 ekor ikan. Ikan itu mau dibawa pulang untuk diberikan ke ibunya untuk dimasak. Di sisi lain dermaga, saya juga melihat seorang bapak bersama anak cowoknya baru memulai memancing, yang kurang lebih sama: ikan yang didapat hari itu untuk dimakan hari ini. Begitu terus yang dilakukan orang-orang sini. Rupanya begitu cara mereka bertahan hidup. Tidak perlu jauh-jauh ke pasar. Tidak perlu mengeluarkan uang. Cukup menyuruh anak berangkat memancing sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan nutrisi sekeluarga satu hari. Hal ini tidak akan terpikirkan sama sekali oleh anak-anak di Jakarta. Hidup di kota besar yang semuanya serba ada sangat memanjakan hidup mereka.

Suatu hari saya menyempatkan diri untuk bersepeda dengan beberapa perwira kapal. Dengan Trek hitam kesayangan saya, kami pun menyusuri jalanan di Pulau Sabang Mawang hingga hampir ke ujung jalan. Jalanannya mayoritas beton, tidak beraspal. Saya ukur dengan jarak saya bersepeda, panjang jalan beton pulau ini mencapai kurang lebih 10 km. Masih belum meliputi sekeliling pulau, memang. Namun sudah cukup untuk menghubungkan enam desa. Di tengah-tengah perjalanan saya melihat bangunan Polsek, Puskesmas, masjid, hingga SD dan SMP. Di setiap pusat permukiman juga selalu ada lapangan bola, sesuatu yang sangat jarang ditemui di Jakarta sekarang ini.

Menyusuri jalanan beton di Sabang Mawang dengan bersepeda.

Tampaknya jenjang pendidikan tertinggi di pulau ini adalah SMP. Bagi yang sekolah SMA tentunya harus menyeberang ke Pulau Bunguran setiap harinya. Seperti yang saya lihat pagi ini. Beberapa anak berseragam SMA terlihat menaiki perahu yang hendak mengantar mereka ke pulau Bunguran. Benar-benar sebuah perjuangan. Kalau dulu istri saya sering menceritakan perjuangannya naik bis Petro pagi-pagi untuk pergi ke SMA 5 Surabaya dari rumahnya di Gresik, anak-anak Sabang Mawang ini bahkan harus menyeberang selat naik perahu. Setiap hari pula!

Suasana anak SMA hendak naik perahu untuk berangkat sekolah. Tampak dari anjungan KRI John Lie-358.

Listrik di pulau ini masih sering padam. Karena ternyata sumber listrik pulau ini masih berasal dari PLTD, alias diesel berbahankan solar. Tahu sendiri biaya solar berkali-kali lipat lebih mahal daripada PLTU berbahan batubara. Dahlan Iskan dalam blognya pernah menuliskan kalau biaya PLTD adalah 2.500 rupiah per Kwh, sedangkan biaya listrik dari PLTU hanya 800 rupiah per Kwh. Hampir 4 kali lipat dari biaya PLTU. Dengan anggaran yang tidak begitu besar, pemadaman terjadwal mungkin adalah satu-satunya solusi. Dari berita tahun 2017 yang sempat saya baca, PLN telah memasang PLTD di pulau Sabang Mawang sebesar total 1.300 KW. Sudah cukup sebenarnya untuk menghidupi penduduk enam desa. Namun itu tadi. Pemadaman tetap diperlukan supaya tetap bisa bernafas sampai akhir tahun. 

Walaupun saat pemadaman berarti juga mati jaringan internet. Namun masyarakat pulau ini tidak ambil pusing. Ibu-ibu terlihat ngerumpi di depan rumah. Anak-anak berenang di laut. Ada juga yang bermain gasing di rumah gasing. Ya. Paling tidak saya menemui ada dua rumah gasing di dekat tempat kapal saya sandar. Saya tanya ke Zaki, seorang anak kecil yang kerap datang main ke kapal. Buat apa rumah gasing itu. Katanya, “ya buat main gasing.”

Rumah gasing di Sabang Mawang.

Zaki ini adalah seorang anak yang bercita-cita menjadi perwira TNI AL. Rumahnya tak jauh dari tempat KRI bersandar. Hanya 200 meter. Setiap ada kapal sandar dia selalu main ke kapal sekedar untuk melihat KRI dari dekat, dan bercakap-cakap dengan prajurit TNI AL. Zaki juga hapal nama-nama komandan KRI yang pernah sandar di Sabang Mawang. Hebat!

Saya bersama Zaki di kiri saya. Anak di kanan saya namanya Azka.

Saat saya bersepeda dia pernah saya ajak untuk ikut. Namun setelah baru jalan 3 km saya kasihan melihatnya. Karena rutenya berbukit-bukit dan sepedanya tidak compatible untuk menjalani rute tersebut. Akhirnya Zaki saya suruh pulang. Zaki ini juga terpisah dengan orang tuanya. Dia tinggal bersama nenek dan bibinya. Sedangkan bapak ibunya bekerja di Ranai, di pulau seberang. Mungkin dia berjumpa dengan orang tua kandungnya hanya saat akhir pekan.

Dan banyak anak-anak Sabang Mawang yang nasibnya seperti Zaki, ditinggal orang tuanya untuk mencari nafkah di pulau seberang.

Semoga kelak Zaki bisa meraih cita-citanya menjadi perwira TNI AL. 

Amin.

Share :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *