Izulda
Malam itu di bawah nyamannya udara malam di Tanjung Uban bergerak mendekat seorang gadis kecil ke arah kami secara perlahan. Anak berjilbab itu membawa sekeranjang donat dan menawarkannya kepada kami yang sedang ngopi di salah satu sudut kota.
Saat itu jam sudah menunjukkan pukul 22.00, cukup larut bagi anak seusianya. Saya bersama dua orang teman saya sengaja menikmati semilirnya malam di Tanjung Uban dengan menyeruput secangkir kopi. Saya, Zul, dan Putut duduk di sebuah cafe sambil meneguk kopi dari cangkirnya.
Terlihat donat yang dibawa gadis itu masih banyak. Cukup banyak bahkan apabila melihat saat itu sudah jam 10 malam.
Kami pun membeli donat dagangannya itu. Semuanya. Bibirnya tersungging sedikit. Senyumnya merekah.
Saya tanya, “nama kamu siapa?”
“Izulda, Oom,” jawabnya. “Saya boleh duduk sini, Oom?” tanyanya kepada kami. Saya pun mempersilakannya duduk di sebelah kiri saya. Terlihat anak kecil itu menyeka dahinya dari beberapa buliran keringat.
“Izulda kelas berapa sekarang?”
“Kelas 4 SD, Oom.”
“Wah, seumuran dengan anak Oom dong. Califf namanya,” sambil saya tunjukkan foto-foto anak lanang saya dari ponsel saya.
Tak dinyana, reaksi anak perempuan itu di luar perkiraan. Bukannya tersenyum, Izulda malah terlihat murung. Buru-buru saya mengalihkan topik pembicaraan.
Mungkin dia merasa kurang beruntung bila dibandingkan dengan si Califf. Boro-boro mendapat kesempatan bermain, Izulda malah harus berjualan donat di malam hari. Saat itu juga saya merasa sangat bersalah kepadanya.
Namun yang menjadi pertanyaan saya adalah di mana orang tuanya.
Ternyata setelah beberapa kali bertemu dirinya di beberapa malam selanjutnya, bapaknya telah meninggal karena kecelakaan sepeda motor beberapa tahun yang lalu. Kurang jelas juga bagaimana ibunya bekerja menyambung hidup dirinya dan Izulda selain berjualan donat. Namun yang jelas, sang ibu tidak pernah terlihat saat Izulda berjualan di malam hari. Ibunya selalu ada, namun tidak pernah berada di garis depan. Anak perempuannya ini yang mendapat tugas untuk menjajakan donat.
Entah memang sudah pembagian tugasnya demikian atau bagaimana saya tidak tahu.
Yang jelas Izulda bercita-cita menjadi TNI AL, mengikuti jejak almarhum ayahnya.
Saya selalu berpesan padanya untuk selalu rajin belajar dan tetap bahagia.
Semoga cita-citanya bisa tercapai.
Pada akhirnya, namanya baru terkuak setelah saya suruh dia mengetik di Notes saya.
Nur Azura Apil Yani namanya. Azura, bukan Izulda.
Terdengar di saya Izulda karena memang gadis itu sedikit cadel.