TPA di BPC Dixmude
Samudera Atlantik Utara,
Perlu diketahui, kapal BPC Dixmude ini adalah kapal termodern yang dimiliki oleh Angkatan Laut Perancis. Pelayaran kali ini pun adalah pelayaran pertamanya. Si Dixmude ini adalah si bungsu dari tiga bersaudara. Kakaknya yang pertama bernama Mistral, si tengah bernama Tonnerre. Misi pertama tak tanggung-tanggung : keliling dunia, memutari Tanjung Harapan.
Kapal ini walau berbentuk tak segarang kapal sekelas Destroyer dan Frigate, namun memiliki taring yang tak kalah tajam. Kapal ini adalah kapal yang mempunyai kemampuan mengirimkan pasukan ke darat dari laut. Bisa lewat laut, bisa lewat udara. Total kapal jenis ini mampu mengangkut 250 pasukan pendarat lewat laut, lengkap dengan seluruh kendaraan beratnya dan mampu membawa 16 buah helikopter. Dapat dilihat di sini bahwa yang namanya Operasi Amphibi tidak melulu harus seperti katak yang harus berenang dari laut untuk mencapai daratan. Di jaman modern ini, katak pun harus bisa terbang.
Di balik kemampuannya yang sangar tersebut, kapal ini ternyata berhati mulia. Watak cinta lingkungan sudah mulai ditanamkan oleh para perancangnya sejak masih dalam kandungan. Kapal ini sejak dilahirkan sudah berprinsip sebagai Le bâtiment vert (kapal hijau). Di dalamnya dilengkapi dengan sistem pengolahan « air abu-abu » dan « air hitam ». Air abu-abu adalah air buangan kamar mandi dan cucian, sedangkan air hitam adalah buangan WC. Sistem tersebut memungkinkan air-air tersebut dibuang ke laut dengan tidak akan mencemari lingkungan.
Selain itu kapal ini dilengkapi juga dengan TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Bentuknya tentu tidak seseram TPA di kawasan Sukolilo. Letaknya di geladak 3 dan geladak 5. Kalau sedang melewatinya yang di geladak 3 baunya mengingatkan saya akan bau TPA di kawasan Gelora Bung Tomo kalau sedang bersepeda di sana.
TPA itu, di sini disebut incinerateur, berisikan beberapa mesin penggiling. Ada mesin penggiling kertas, ada juga mesin pemecah beling. Di samping itu dapat dilihat adanya mesin pemadat kaleng. Di bagian lain di TPA tersebut juga terdapat sebuah gudang.
Di kapal ini, sampah dibedakan jadi empat macam: sampah kertas, plastik, beling, dan sisa makanan. Di ruang makan, setelah makan kami harus membersihkan diri piring makanan kami dari sisa-sisa makanan sebelum dimasukkan ke dalam mesin pencuci. Tempat sampahnya ada tiga macam: khusus kertas, plastik, dan sisa makanan. Untuk aluminium atau beling disediakan sebuah kotak tersendiri.
Dari sana sisa makanan bisa langsung dimasukkan ke incinerateur ke-2 yang terdapat di geladak 5. Di TPA tersebut sisa makanan tersebut diblender sedemikian rupa untuk kemudian diberikan ke makhluk penghuni lautan. Benar-benar kapal yang baik, bukan? Walaupun kapal perang masih memikirkan nasib ikan-ikan di lautan. Namun pembuangan tersebut tidak boleh dilakukan dalam jarak kurang dari 23 kilometer dari daratan.
TPA utama yang terletak di geladak 3 mempunyai misi yang tak kalah pentingnya. Kalau TPA nomor 2 kliennya hanya dari ruang makan, TPA yang ini kliennya dari seluruh kamar-kamar dan ruangan-ruangan di seluruh kapal. TPA ini buka setiap hari pada jam 8.30 sampai jam 9 pagi. Pada saat itulah ramai orang datang untuk menyetor sampah-sampah yang mereka punyai. Jika berkunjung ke sana pada jam segitu baunya sungguh luar biasa. Saya tidak bisa membayangkan orang yang bertugas di situ. Mungkin syaraf pembaunya sudah kebal dengan bau-bauan seperti itu.
Di setiap kamar dan ruangan disediakan tempat sampah. Sampah-sampah tersebut kalau sudah penuh muaranya ya ke TPA tersebut. Siapa yang bertugas membawa sampah tersebut ? Biasanya adalah orang yang menjadi penanggung jawab kebersihan di ruangan tersebut. Karena sektor pembersihan saya ada di kelas yang tidak ada tempat sampahnya, saya hanya pernah satu kali saja berkunjung ke TPA tersebut. Itu pun pada saat hari pemeriksaan kebersihan yang dilaksanakan oleh Komandan kapal, di mana kami satu kamar bekerja bersama-sama dan kebetulan saya apes mendapat kehormatan untuk membuang sampah tersebut.
Sesampai di TPA tidak serta merta plastik sampah dari kamar kita tinggalkan begitu saja. Sampah-sampah tersebut menjadi satu dalam plastik karena hanya ada satu tempat sampah saja. Hal itulah yang berat. Karena saya harus memilihi satu per satu sampah tersebut untuk dimasukkan ke kastanya masing-masing. Yang merasa berkasta kertas atau karton harus rela dipisahkan dari mereka yang berkasta plastik, beling, kaleng ataupun sisa makanan.
Setelah dipilihi, oleh sang petugas, sampah-sampah tadi ditangani dengan cara masing-masing. Untuk sampah berjenis kertas dimasukkan ke dalam alat penggiling kertas. Setelah tergiling, gilingan kertas tadi akan disimpan untuk ditangani lebih lanjut saat tiba di pelabuhan tempat bersandar. Tentunya untuk didaur ulang. Untuk yang beling akan dimasukkan ke dalam mesin penggiling beling, yang setelah menjadi pecahan kecil-kecil akan dibuang ke laut. Sedangkan untuk yang berjenis kaleng akan dimasukkan ke dalam mesin pemadat kaleng untuk nantinya dibawa ke pelabuhan berikutnya untuk didaur ulang.
Sebenarnya ada dua jenis sampah lagi yang tidak dapat diakomodasi oleh TPA tersebut. Mereka adalah lampu bekas dan baterei bekas. Untuk sampah-sampah jenis tersebut tidak diakomodasikan dalam TPA melainkan harus diserahkan kepada tukang listrik di kapal.
Dari sini saya baru tahu kenapa warna laut di dermaga pelabuhan di kota Toulon berbeda dengan warna laut di Tanjung Priok. Begitu juga dengan warna laut di pelabuhan Fremantle yang juga pernah saya kunjungi. Bahkan di Fremantle tersebut tak jarang saya melihat lumba-lumba dengan gembiranya bermain-main di dermaga. Seakan tak takut oleh kehadiran kita di dekatnya.
Bukankah seharusnya kita sebagai Negara muslim terbesar di dunia harus bisa seperti itu. Karena sejak kecil sudah dipatrikan di diri kita bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman. Ataukah justru karena watak kita yang tidak resikan hingga membuat kita harus didoktrin dengan jargon tersebut dari kecil?
Hanya kita sendiri yang tahu jawabannya.