Moin sept (-7)
Dubai – Paris
Sudah mulai jenuh tubuh ini berdiam diri di kursi pesawat sedemikian lama. Yah, delapan jam lamanya penerbangan dari Jakarta ke Dubai ditambah tujuh jam berikutnya menuju Paris cukup membuat bosan diri ini. Untungnya di depan bangku Etihad tersedia layar mini yang bisa dimanfaatkan sebagai pengusir jenuh. Sudah dua film yang saya tonton untuk mengusir si bosan. Columbiana dan Tintin. Lumayan, daripada terus-terusan tidur yang bisa semakin menambah penat badan ini.
Dari ramalan cuaca yang diumumkan captain pilot, suhu di Paris ternyata mencapai -7 derajat celcius. Ini benar-benar ekstrim pikir saya. Dari suhu di Jakarta yang berkisar 30 derajat menuju ke daerah yang bersuhu lebih rendah dari nol derajat. Dua jam sebelum mendarat segera saya ambil winter ondergoed saya yang sengaja saya taruh di tas ransel yang saya bawa masuk ke kabin pesawat. Segera menuju ke toilet untuk mengenakan perlengkapan dingin tersebut. Agak hangat, cenderung gerah rasanya mengenakan baju berlapis seperti itu di dalam kabin pesawat, namun nantinya pasti berguna saat benar-benar bersentuhan dengan udara Paris.
6.30 tepat waktu Paris, pesawat Etihad yang saya tumpangi mendarat dengan muls di Bandara Charles de Gaulle Paris. Suasana di luar masih gelap tentunya karena saat itu musim dingin. Benar kata sang pilot, suhu di luar benar-benar menusuk tulang (setidaknya bagi saya). Bersyukur tadi di dalam pesawat sempat merangkap baju. Kalau tidak, entah bagaimana nasib saya.
Setelah menunggu bagasi, segera saya keluar bandara. Alhamdulillah di luar sudah ada Staf Kedutaan Indonesia yang menjemput saya. Namanya Pak Marlin, dari Depok asalnya. Dia sudah bekerja di Kedutaan selama delapan tahun. Entah kenapa keluarganya tak dibawanya ke Paris, malah lebih memilih untuk pulang ke Indonesia dua kali setahun.
Ternyata bandara Charles de Gaulle ini berada di luar kota Paris. Akses menuju Paris ternyata sudah macet pada jam segitu. Namun, semacet-macetnya jalan masih berjalan semua kendaraan. Tidak seperti Jakarta yang macet hingga benar-benar berhenti. Selain itu, jarang sekali melihat roda dua di jalanan Paris. Ada pun hanya motor-motor besar yang berseliweran. Cukup tertib saya rasakan, walaupun macet namun tidak pernah terlihat asa dari pengguna jalan untuk menyerobot.
Sepanjang perjalanan di mobil, Pak Marlin dan saya saling bercakap-cakap. Selayaknya orang yang sudah lama menikmati hidup teratur, perbandingan antara Teratur dan Tidak Teratur acap kali muncul. Dari mulai lalu lintas, penegakan hukum, mentalitas, dan masih banyak lagi. Dalam hati ini berpikir, apa tepat membandingkan sesuatu yang belum tentu layak untuk dibandingkan ? Terus kalau sudah dibandingkan, apa untungnya buat si Tak Teratur ? Memang harus diakui mentalitas kita masih jauh, namun tidak berarti kita ini jelek. Masih banyak kiranya hal-hal lain dari si Tak Teratur yang jauh lebih bagus dari si Teratur. Realistis aja, kalau orang bilang dimulai dari diri sendiri. Ini yang selalu saya coba lakukan di Indonesia. Hal-hal yang baik dari si Teratur kita terapkan, hal-hal yang jelek jangan. Memang aneh rasanya tatkala kita pada waktu yang bersepeda motor berhenti di belakang garis penyeberang jalan, sementara pesepeda motor yang lain sudah berada jauh di depan. Yang penting penerapannya, komentar boleh namun aksi harus nomor satu.
Yang penting harus ingat: Indonesia is our motherland.