Menakar Kekuatan Instrumen Nasional Indonesia di Laut Natuna Utara
Perkembangan situasi di Laut Natuna Utara merupakan kejadian berulang yang kesekian kalinya. Hal ini mengharuskan kita untuk introspeksi diri. Kapal-kapal Tiongkok bahkan masih berani berada di Laut Natuna Utara setelah kunjungan Presiden Jokowi ke Natuna. Apa yang salah dengan Indonesia? Bagaimana daya tawar Indonesia di mata Tiongkok?
Kemampuan sebuah negara dalam memaksakan kehendaknya demi tercapainya tujuan nasional sangat tergantung kepada empat instrumen kekuatan nasional yang terdiri dari diplomasi, informasi, militer, dan ekonomi, atau lebih sering disingkat DIME. Analisis yang cermat terhadap keempat instrumen tersebut penting dilakukan untuk melihat sejauh mana posisi kita di mata Tiongkok.
Diplomasi pada tataran internasional merupakan bentuk dari soft power, sebuah cara mempersuasi negara lain tanpa menggunakan kekuatan agar mau mengikuti apa yang menjadi kepentingan nasional. Keberhasilan diplomat Indonesia mendorong percepatan pembahasan code of conduct nyatanya belum mampu mencegah Tiongkok mengendurkan klaimnya. Pada permasalahan yang baru mencuat, Menlu telah menyampaikan protes keras kepada pemerintah Tiongkok dan menyampaikan empat sikap tegas. Tiongkok, di lain pihak, tetap keukeuh menyatakan bahwa kegiatan yang mereka lakukan di Laut Natuna Utara adalah legal karena masih masuk dalam nine-dashed line mereka, sebuah klaim unilateral yang tidak berdasar. Tindakan tegas yang telah diambil Indonesia tersebut belum sampai pada eskalasi memanggil pulang duta besarnya di Beijing, seperti yang pernah dilakukan saat memulangkan dubes Australia pada peristiwa dugaan penyadapan Australia tahun 2013 yang lalu.
Informasi merupakan kemampuan sebuah negara dalam menggunakan informasi yang dimiliki untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Dalam kasus Natuna ini, Indonesia, melalui TNI AL, tidak terlambat dalam mengambil aksi yang diperlukan. TNI AL memang selalu berupaya hadir setiap saat sehingga mampu untuk mendeteksi masuknya kapal-kapal ikan asing ke dalam ZEEI. Meskipun demikian, perlu diakui kalau jumlah unsur TNI AL yang beroperasi di Laut Natuna Utara masih jauh dari ideal bila dihadapkan dengan luas perairan yang harus diawasi. Di sisi Tiongkok, keunggulan informasi mereka didukung oleh pemanfaatan satelit mereka. Satuan TNI Terintegrasi (STT) Natuna, pangkalan aju TNI terdekat, baru dilengkapi dengan radar udara; radar pantai masih dalam tahap instalasi. Ekspos penangkapan kapal ikan Vietnam yang dilakukan oleh KKP beberapa waktu yang lalu merupakan langkah eksploitasi informasi yang patut diapresiasi, identik dengan aksi penenggelaman kapal sebelumnya yang terbukti mampu meningkatkan daya tawar Indonesia.
Kekuatan militer Indonesia secara kasat mata masih kalah jauh dengan militer Tiongkok. Lemahnya militer Indonesia, terutama TNI AL, secara langsung menurunkan daya tawar kita. Sengketa Laut Natuna Utara ini memang bukan ancaman militer, namun tetaplah diperlukan TNI AL yang besar dan kuat dalam upaya penegakan hukum di wilayah perairan yurisdiksi nasional. Bakamla juga belum memiliki aset yang dapat diandalkan. Hanya memiliki sepuluh kapal tak bersenjata, Bakamla saat ini sangat jauh dari postur idealnya. Tiongkok sendiri memilih untuk mengerahkan kapal-kapal pemerintah sipilnya untuk mengawal kapal-kapal ikannya, sebuah situasi yang harus diperhitungkan dengan cermat oleh aparat di lapangan untuk menghindari eskalasi yang tidak diinginkan.
Ekonomi sebagai instrumen kekuatan nasional bukan hanya menyangkut ketahanan ekonomi sebuah negara, melainkan juga bagaimana menggunakan pengaruh ekonomi yang dimiliki terhadap negara lain. Tiongkok sebagai raksasa ekonomi dunia bukanlah lawan yang sepadan. Tak dapat dipungkiri bahwa Indonesia sangat berkepentingan untuk menjaga hubungan baik dengan Tiongkok demi kelancaran investasi Tiongkok di Indonesia. Sejauh ini, Indonesia telah mencoba mengajak Jepang untuk berinvestasi di Natuna, sebuah langkah strategis yang boleh diacungi jempol. Secara jangka panjang, kebijakan penganggaran sudah harus diarahkan untuk penguatan TNI AL, Bakamla, dan alat pertahanan lainnya untuk meningkatkan kewibawaan negara. Pembahasan di atas menunjukkan bahwa Indonesia berada pada posisi inferior terhadap Tiongkok. Hal ini sedikit banyak menjelaskan berulangnya pelanggaran hak berdaulat RI di Laut Natuna Utara oleh Tiongkok. Indonesia sebenarnya tidak harus memiliki instrumen kekuatan nasional yang lebih unggul, melainkan harus mampu untuk menggunakan sebaik-baiknya keempatnya secara adaptif. Pelajaran dari Revolusi Amerika tahun 1778 – 1881 menunjukkan kelihaian Amerika dalam mengalahkan Inggris yang lebih kuat dalam aspek militer dan ekonomi. Permasalahan di Natuna menunjukkan bahwa kita masih memiliki banyak PR terhadap wilayah terdepan kita. Keempat instrumen kekuatan nasional Indonesia masih perlu dikuatkan lagi, tentunya dengan caranya sendiri-sendiri. Para diplomat kita tentunya paham bagaimana mengambil langkah tegas yang tepat. Selanjutnya, kebijakan penganggaran pemerintah dalam bidang pertahanan keamanan hendaknya mulai diarahkan kepada penguatan aparat penegak hukum di laut, termasuk untuk memperkuat sistem pengawasan maritim yang terintegrasi di Natuna. Tentu saja, semuanya membutuhkan political will dari segenap pemangku kepentingan negara ini.