Cerita Gelar ke-13
Malam kemarin mungkin adalah salah satu tidur saya yang paling nyenyak tahun ini. Tim sepak bola kebanggaan saya sejak kecil, Manchester United, berhasil keluar sebagai juara Piala FA tahun 2024. Gelar ini seakan menjadi pereda dahaga gelar bagi tim merah ini setelah mencatatkan performa yang ancur-ancuran tahun ini. Pada ajang EPL tahun 2024, Manchester United hanya finish di urutan kedelapan, terendah dalam 10 tahun terakhir. 14 kekalahan dalam semusim merupakan yang terburuk dalam 34 tahun terakhir. Tak hanya itu, musim ini MU lebih banyak mencatatkan kebobolan daripada mencetak gol di gawang lawan. Catatan selisih golnya -1, pertama kali dalam sejarah.
Rentetan rekor tak menyenangkan tersebut pada akhirnya bisa sedikit terhibur dengan gelar juara Piala FA ini, yang menyelamatkan tim ini dari absen di kompetisi Eropa. Pemegang juara piala ini memang berhak tampil di Liga Eropa bersama Tottenham Hotspurs yang finish kelima. Piala malam jumat ini memang kalah kelas bila dibandingkan dengan Liga Champions. Tapi bagi MU, daripada tidak, mending main di kompetisi Eropa apapun.
Final Piala FA kemarin sedikit emosional bagi punggawa tim merah Manchester ini. Pertama adalah Raphael Varane yang resmi mencatatkan laga terakhirnya berbaju merah. Sebelum laga home terakhir di Old Trafford minggu lalu, Varane sudah mengunggah video perpisahannya di akun Instagram miliknya. Klub tidak memperpanjang kontraknya yang habis per Juni ini. Pemain yang bergelimpangan gelar, termasuk Piala Dunia, akhirnya harus meninggalkan Man Utd. Cedera adalah alasan utamanya.
Kedua adalah Marcus Rashford. Pemain bintang yang tahun ini meredup terlihat meneteskan air mata di akhir laga final kemarin. Entah kenapa. Yang jelas, Rashford tidak dipanggil oleh pelatih timnas Inggris untuk memperkuat Inggris di Piala Eropa 2024. Bahkan dirinya kalah oleh Luke Shaw teman setimnya. Luke Shaw malah masih berstatus cedera namun tetap dipanggil oleh Gareth Southgate. Tangisan Rashford semalam menimbulkan spekulasi bahwa laga final kemarin juga merupakan laga terakhirnya berbaju Manchester United, klub yang dibelanya sejak usia 7 tahun. Rashford memang dikenal sebagai produk asli Carrington.
Emosi ketiga menyangkut Ten Haag, sang manajer. Santer di media bahwa musim ini adalah musim terakhirnya sebagai pelatih MU. Rentetan hasil buruk musim ini dan permainan yang tidak meyakinkan diduga menjadi penyebab utama manajemen klub tidak memperpanjang kerja sama dengan pelatih botak asal Belanda ini. Gelar hiburan Piala FA juga dikabarkan tidak akan mengubah nasib Ten Haag. Situasi ini pernah menimpa Louis Van Gaal, saat dia tetap dipecat meski menjuarai Piala FA saat itu.
Yah, dalam sepak bola, pemain maupun pelatih memang tidak dinilai dalam satu pertandingan, melainkan semusim penuh. Performa konsisten merupakan kunci apabila ingin sukses di sepak bola. Jika selama setahun permainannya jelek, bahkan satu gelar juara tidak bisa menyelematkan karier pelatih atau pemain.
Sepertinya ini juga merupakan rumus kehidupan. Konsistensi itu yang paling utama. Untuk sukses dalam hidup, kita harus baik secara terus menerus. Dan itu seharusnya dimulai sejak dini. Apa yang kita kerjakan akan menuai hasilnya di masa depan. Dalam kehidupan, tidak ada yang namanya instan selain mie instan.
Konsistensi adalah koentji.