Peta NKRI 2017: Penegasan Kedaulatan Maritim Indonesia dan Tantangannya
Pendahuluan
Pada bulan Juli 2017 yang lalu, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman merilis peta wilayah NKRI. Peta tersebut merupakan pembaruan dari peta wilayah NKRI yang terakhir dipublikasikan pada tahun 2005.[1] Dalam konferensi persnya, Arif Havas Oegroseno, Deputi I Bidang Kedaulatan Maritim, menyatakan bahwa langkah pemerintah ini untuk menindaklanjuti beberapa perundingan perbatasan maritim yang telah selesai, di antaranya dengan Singapura dan Filipina.[2] Indonesia memang telah menyepakati penetapan batas laut teritorial dengan Singapura pada tahun 2009 dan 2014. Sedangkan dengan Filipina, pemerintah Indonesia sepakat dalam penetapan garis batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) pada Mei 2014 yang baru diratifikasi pada April 2017. Menilik kedua perjanjian Indonesia dengan Singapura dan Filipina tersebut, publikasi peta baru memang menjadi keniscayaan. Namun, lebih jauh dari itu, langkah pemerintah ini merupakan sebuah bentuk penegasan kedaulatan negara, sesuatu yang pernah diperjuangkan oleh Ir. H. Djuanda pada 13 Desember 60 tahun silam. Melalui publikasi peta ini juga pemerintah berusaha menegaskan jati diri bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim kepada dunia luas melalui batas-batas laut yang tergambar dengan jelas, baik yang telah disepakati maupun yang masih membutuhkan perundingan lebih jauh.
Walaupun peta yang baru dipublikasikan ini mengatur batas darat dan batas laut, aspek kemaritiman nampaknya lebih menonjol untuk menjadi diskusi. Hal ini karena perbatasan laut meliputi beberapa rezim maritim dan beberapa di antaranya belum disepakati. Contoh nyata adalah protes Tiongkok terhadap penamaan Laut Natuna Utara oleh Indonesia pada sebagian wilayah Laut Cina Selatan.[3] Respons Tiongkok tersebut mendasari penulis untuk melaksanakan analisis secara lebih mendalam untuk melihat potensi ancaman yang bisa timbul sebagai akibat dari publikasi peta Indonesia 2017. Artikel ini berpendapat bahwa publikasi peta baru merupakan wujud nyata dari diplomasi maritim Indonesia dalam menegaskan kedaulatan NKRI, utamanya di kawasan perbatasan maritim, sekaligus merupakan hal yang perlu diantisipasi dengan kemungkinan terjadinya konflik-konflik antarnegara yang berimbas dari publikasi peta Indonesia tersebut. Sebelum menarik kesimpulan tersebut, tulisan ini pertama akan membahas tentang sejarah bangsa Indonesia dalam upaya-upaya menegaskan jati diri sebagai negara kepulauan yang berdaulat. Selanjutnya penulis akan mencoba untuk membahas dua studi kasus tentang klaim kedaulatan yang telah dilakukan oleh Malaysia dan Tiongkok yang pada akhirnya memicu ketegangan dengan negara-negara sekitar. Terakhir, peta Indonesia yang baru dirilis akan dilihat secara lebih mendalam untuk dianalisis potensi-potensi tantangan yang ada.
Pencarian Kedaulatan Indonesia
Indonesia memproklamasikan dirinya sebagai negara yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 melalui sebuah pernyataan yang dibacakan oleh Ir. Soekarno, Presiden RI pertama, bersama dengan wakilnya Drs. Mohammad Hatta. Pernyataan kemerdekaan tersebut merupakan buah dari perjuangan ratusan tahun bangsa Indonesia selama hidup dalam belenggu penjajahan. Sebelum benar-benar menjadi sebuah negara, wilayah yang sekarang menjadi Indonesia merupakan kumpulan kerajaan-kerajaan dan suku-suku dengan sifat kedaerahan yang kental, yang melakukan perjuangan melawan penjajah atas dasar persamaan nasib. Meskipun demikian, Indonesia belum benar-benar berdaulat hingga setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949. Periode Agustus 1945 sampai 1949 merupakan periode perjuangan bagi bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya, di mana Belanda saat itu berambisi untuk mengklaim kembali “wilayahnya” yang diambil oleh Jepang sebelumnya. Usaha untuk mempertahankan kemerdekaan dilaksanakan oleh bangsa Indonesia pada saat itu, baik melalui jalan perjuangan fisik maupun jalur diplomasi. Tidak sedikit korban jiwa pada peristiwa Pertempuran Surabaya, Pertempuran Lima Hari Semarang, Pertempuran Ambarawa, Peristiwa Bandung Lautan Api, dan pertempuran-pertempuran lainnya melawan Agresi Militer Belanda di seluruh Indonesia. Diplomat-diplomat unggul Indonesia juga berjuang melalui perundingan-perundingan, yaitu perundingan Linggajati, Renville, Roem Royen, hingga puncaknya KMB yang ditandatangani pada 2 November 1949. Transfer kedaulatan dari Belanda ke pemerintah Indonesia pada akhirnya dilaksanakan pada 27 Desember 1949. Saat itu, Belanda secara resmi mengakui kedaulatan Indonesia pada wilayah kepulauan yang dahulunya berada di bawah otoritas Belanda. Hal ini merupakan momen penting dalam pengakuan kedaulatan Indonesia, walaupun sebelumnya dunia internasional sudah mengakui kemerdekaan Indonesia.
Wilayah kedaulatan Indonesia pada saat itu mengacu kepada isi dari Perjanjian Inggris-Belanda tahun 1824 dan 1891 yang mengatur pembagian wilayah koloni kedua negara. Indonesia sebagai bekas koloni Belanda “mewarisi” wilayah-wilayah yang sebelumnya dikuasai Belanda. Perjanjian tahun 1824 atau biasa disebut dengan Traktat London merupakan solusi dari persaingan hegemoni antara Inggris dan Belanda yang pada waktu itu berebut pengaruh di wilayah Asia Tenggara, utamanya wilayah Selat Malaka. Salah satu poin utama dalam perjanjian tersebut adalah mengatur permasalahan wilayah teritorial Belanda dan Inggris. Belanda sepakat memberikan seluruh kekuasannya di India kepada Inggris, dan juga klaim terhadap Singapura dan Malaka. Di lain pihak, Inggris menyerahkan Bengkulu dan seluruh koloninya di Sumatera ke Belanda.[4] Pada bagian lain, Belanda dan Inggris memperjelas batas wilayah mereka di Pulau Kalimantan melalui perundingan yang menghasilkan Perjanjian tahun 1892. Traktat tersebut mendefinisikan secara jelas batas daratan antara kedua negara tersebut di Borneo. Kedua perjanjian tersebut yang mendasari wilayah darat Belanda yang pada akhirnya menjadi wilayah kedaulatan Indonesia setelah kemerdekaan.
Jika wilayah darat didefinisikan secara jelas oleh kedua perjanjian tersebut, kedaulatan pada wilayah laut pada mulanya hanya berdasarkan ordonansi Belanda, yaitu TZMKO (Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie) 1939. Hal ini yang akhirnya diadopsi oleh Indonesia pada saat baru merdeka. TZMKO 1939 mengatur bahwa luas laut teritorial hanya sejauh 3 mil laut dari garis pantai terluar. Pada akhirnya ketentuan ini mengandung masalah bagi Indonesia karena tidak sesuai dengan kodrat negara Indonesia yang berupa negara kepulauan. Dengan luas laut teritorial 3 mil laut, ribuan pulau-pulau Indonesia merupakan entitas yang tercerai-berai, bukan merupakan sebuah kesatuan negara. Hal ini berarti bahwa seluruh kapal, baik kapal kargo, kapal penumpang, hingga kapal perang, dapat dengan bebas berlayar di perairan Indonesia asal berlayar lebih dari 3 mil laut dari daratan karena laut yang dilayari tersebut tergolong sebagai perairan internasional.[5] Bagi Indonesia, hal ini merupakan sebuah kerugian yang besar karena menghalangi pemerintah Indonesia untuk mengontrol wilayahnya secara efektif.[6]
Atas dasar tersebut, pemerintah Indonesia mulai merancang konsep Negara Kepulauan dengan tujuan untuk menegakkan kedaulatan Indonesia seutuhnya, khususnya kedaulatan wilayah maritim. Langkah awal dilaksanakan pada tahun 1956 sampai dengan 1960, dengan merancang konsep lebar laut teritorial sebesar 12 mil laut serta konsep Perairan Kepulauan, yang menyatukan ribuan pulau-pulau Indonesia ke dalam satu wilayah Indonesia yang menyeluruh. Masa itu merupakan saat awal tumbuhnya kesadaran geopolitik Indonesia terhadap wilayah teritorial maritim.[7] Ide tersebut pada akhirnya dituangkan dalam Deklarasi Djuanda, yang dicanangkan hanya dua bulan sebelum pelaksanaan UNCLOS I (United Nations Convention on the Law of the Sea I), tepatnya pada tanggal 13 Desember 1957. Pada deklarasi yang dibacakan oleh Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja, Indonesia menggunakan pendekatan baru dalam menentukan kedaulatan maritimnya, yaitu batas laut teritorial Indonesia diukur sejauh 12 mil laut dari garis pangkal yang diambil dari titik-titik pangkal, dan seluruh wilayah laut yang berada di dalam laut teritorial merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kedaulatan Indonesia.[8] Deklarasi Djuanda berbunyi:
- Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri.
- Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan suatu kesatuan.
- Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia dari deklarasi tersebut mengandung suatu tujuan:
- Untuk mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat.
- Untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI, sesuai dengan azas negara Kepulauan.
- Untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan keselamatan NKRI.[9]
Konsep ini yang selanjutnya diperjuangkan oleh delegasi Indonesia pada UNCLOS. UNCLOS I yang dilaksanakan pada tahun 1956 pada akhirnya tidak mengakui konsep negara kepulauan yang diperjuangkan Indonesia. Salah satu faktor kegagalan Indonesia adalah adanya penentangan oleh Amerika Serikat yang berpendapat bahwa konsep negara kepulauan Indonesia bertentangan dengan prinsip kebebasan bernavigasi (freedom of navigation). Argumen AS ini didukung oleh kekuatan maritim dunia lainnya seperti Inggris, Prancis dan Belanda. Hanya Tiongkok dan Rusia yang pada waktu itu mendukung ide Indonesia. Keberatan AS tidak selesai hanya di meja rapat. Pada tahun 1958, Angkatan Laut AS mengirim kapal perangnya untuk berlayar di perairan kepulauan Indonesia sebagai penegasan sikap AS yang menentang konsep negara kepulauan Indonesia.[10] Para pemimpin Indonesia tak gentar dengan sikap AS tersebut. Konsep negara kepualauan tetap diperjuangkan di konferensi UNCLOS selanjutnya setelah sebelumnya mengesahkan Deklarasi Juanda ke dalam UU No. 4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Dengan UU ini, luas wilayah Republik Indonesia bertambah luas hingga 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km2 menjadi 5.193.250 km2. Pengesahan ini menjadikan menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia.
UU No. 4/PRP/1960 selain berisikan penegasan tentang perairan kepulauan dan lebar laut teritorial 12 mil laut juga menyertakan klaim kedaulatan atas Irian Jaya. Hal tersebut menimbulkan kontroversi mengingat saat itu status Irian Jaya masih berada di bawah kekuasaan Belanda walaupun Indonesia sedari awal sudah mengklaim bahwa Irian Jaya adalah bagian tak terpisahkan dari NKRI. Manuver Indonesia tersebut direspon oleh Belanda dengan menambah kekuatan militernya di Irian Jaya pada pertengahan tahun 1960. Seketika itu juga Indonesia memutus hubungan diplomatik dengan Belanda.[11] Situasi ini semakin memanas hingga puncaknya Indonesia mencetuskan Trikora untuk merebut Irian Jaya atau Papua. Saat itu juga menjadi masa yang kelabu bagi seluruh bangsa Indonesia dengan gugurnya putra-putra terbaik Angkatan Laut dalam peristiwa pertempuran Laut Aru yang menenggelamkan RI Macan Tutul. Konsep negara kepulauan yang diusung oleh Indonesia akhirnya menjadi kesepakatan bersama pada UNCLOS III yang berlangsung pada tahun 1972 – 1982. UNCLOS pada akhirnya disahkan berlaku secara internasional pada tahun 1994 setelah Guyana menjadi negara ke-60 yang meratifikasinya.
Uraian tentang perjuangan Indonesia dalam menegaskan kedaulatannya kepada dunia luar menunjukkan kepada generasi sekarang bahwa tidak ada perjuangan yang mudah. Sejak 1945 hingga UNCLOS diakui, pencarian kedaulatan Indonesia mengalami banyak sekali pertentangan dan penolakan, baik dalam bentuk protes hingga aksi militer.
Publikasi Peta Baru Malaysia 1979
Hal serupa dialami oleh Malaysia, utamanya saat mereka mempublikasikan Peta Baru pada 21 Desember 1979. Peta wilayah Malaysia yang bertajuk “Peta Baru Menunjukkan Sempadan Perairan dan Pelantar Benua Malaysia” yang dipublikasikan tersebut menggambarkan batas laut teritorial dan ZEE Malaysia yang berdasarkan klaim sepihak. Klaim tersebut menimbulkan protes dari negara-negara yang berbatasan laut dengan Malaysia, di antaranya dengan Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, termasuk Indonesia. Negara-negara tetangga Malaysia protes keras karena Peta Baru 1979 tersebut dipublikasikan tanpa melewati perundingan dan kesepakatan dengan negara tetangga yang berbatasan laut langsung. Hal tersebut terjadi karena dalam peta 1979 tersebut Malaysia “mencampur aduk antara ZEE . . . dan landas kontinen.”[12] Saat Malaysia mempublikasikan petanya tersebut UNCLOS belum disahkan, sehingga tindakan Malaysia tersebut dapat dilihat sebagai usaha “curi start” demi kepentingannya sendiri tanpa melaksanakan perundingan terlebih dahulu. Hal ini karena Malaysia sudah bisa membaca isi UNCLOS yang akan disetujui pada tahun 1982 yang secara umum cenderung akan merugikan pihak Malaysia.
Di antara beberapa permasalahan yang timbul terkait dengan publikasi Peta Baru 1979 adalah konflik dengan Thailand dan Vietnam di Teluk Thailand, dengan Filipina di Laut Cina Selatan, dengan Singapura di Selat Singapura, dan dengan Indonesia di kawasan Ambalat. Beberapa dari protes-protes terhadap klaim Malaysia tersebut diselesaikan melalui mekanisme pengadilan internasional dan kesepakatan mekanisme pengembangan bersama (joint development). Meskipun demikian, pada beberapa kesempatan, perselisihan perbatasan laut yang melibatkan Malaysia memancing penggunaan kekuatan militer seperti yang terjadi pada kasus yang terjadi di Ambalat.
Dengan Singapura, Malaysia mengalami perselisihan yang disebabkan oleh publikasi peta barunya pada dua lokasi: Tuas View dan Pedra Branca. Tuas View merupakan sebuah kawasan di tenggara Singapura yang pernah menjadi “ramai” karena isu reklamasi pulau Singapura pada tahun 2002. Saat itu, Malaysia memprotes usaha reklamasi yang dilakukan oleh Singapura di kawasan Tuas View. Dasar yang digunakan oleh Malaysia adalah Peta Baru 1979 yang menggambarkan bahwa sebagian perairan pada lokasi reklamasi Singapura merupakan milik Malaysia. Klaim sepihak Malaysia ini menggunakan dasar Peta Baru Malaysia 1979. Menurut Malaysia, area reklamasi Singapura melanggar wilayah perairan Malaysia yang terhubung oleh titik no. 19, 20 dan 21 (lihat gambar di bawah). Hal ini merupakan sesuatu yang janggal mengingat kedua negara telah menyepakati batas laut teritorial di daerah tersebut pada tahun 1995. Perselisihan tersebut pada akhirnya menimbulkan ketegangan di antara dua negara bertetangga hingga akhirnya diselesaikan melalui jalur pengadilan internasional, the International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS). Setelah melalui berbagai macam tahapan, ITLOS pada akhirnya mengambil sikap tengah, yaitu tidak memerintahkan stop reklamasi, malainkan hanya mengharuskan Singapura untuk tidak merusak lingkungan sekitar area reklamasi.[13]
Perselisihan kedua yang dialami oleh Malaysia dengan Singapura sebagai imbas dari publikasi Peta Baru 1979 adalah pada persengketaan kepemilikan Pedra Branca, Middle Rock dan South Ledge. Isu ini memanas tak lama setelah Malaysia mempublikasikan Peta Baru-nya. Singapura mulai mengirimkan nota protes diplomatik pada tahun 1980 karena Malaysia memasukkan Pedra Branca ke dalam wilayahnya. Perselisihan ini pada akhirnya berkembang dengan diikutkannya isu status kepemilikan dua karang lainnya yang berdekatan: Middle Rocks dan South Ledge. Sejak Singapura memisahkan diri dari Malaysia pada tahun 1965 hingga sebelum adanya publikasi Peta Baru Malaysia, status kepemilikan Pedra Branca tidak pernah menjadi isu yang besar. Baru pada tahun 1980 Singapura mulai mempersoalkan status karang yang menjadi miliknya tersebut setelah melihat Malaysia dengan jelas memasukkan Pedra Branca ke dalam wilayah Malaysia. Tidak seperti permasalahan Tuas View yang penyelesaiannya mambutuhkan waktu relatif singkat, status Pedra Branca dan dua fitur maritim lainnya baru dapat diputuskan setelah 23 tahun. Malaysia dan Singapura juga memutuskan membawa permasalahan ini di hadapan mahkamah international the International Court of Justice (ICJ) yang pada akhirnya memutuskan Singapura sebagai pemilik sah Pedra Branca.
Contoh ketiga implikasi dari penerbitan sebuah peta adalah permasalahan status kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia. Berbeda dengan dua kasus sebelumnya, kasus ini mencuat saat Malaysia mempublikasikan peta wilayah mereka pada tahun 1969 yang memasukkan Sipadan dan Ligitan ke dalam wilayah mereka.[14] Permasalahan tersebut diperkeruh dengan adanya Peta Baru 1979 hingga mencapai puncaknya saat ICJ memutuskan kedua pulau tersebut menjadi milik Malaysia. Konflik antarnegara ini memicu sentimen negatif rakyat Indonesia terhadap Malaysia. Permasalahan tak berhenti sampai di sana. Pasca-putusan ICJ, timbul permasalahan baru mengenai batas perairan Ambalat. Beberapa kali terjadi insiden skala rendah yang melibatkan angkatan laut kedua negara. Masih terekam dengan jelas di memori kita kejadian “senggolan” KRI Tedong Naga dengan KD Rencong pada tahun 2005. Beberapa insiden serupa terjadi setelahnya, mulai dari provokasi hingga pelanggaran wilayah yang dilakukan oleh kapal dan pesawat Malaysia. Hingga kini belum ada titik terang status Ambalat. Indonesia tetap berpegang teguh bahwa Ambalat adalah wilayah Indonesia yang tak terpisahkan.
Nine-Dashed Line: Klaim Sepihak di Laut Cina Selatan
Bergeser sedikit ke utara Indonesia, ketegangan yang sedang terjadi di Laut Cina Selatan bermula dari klaim Tiongkok yang menyatakan bahwa seluruh Laut Cina Selatan adalah merupakan wilayah Tiongkok, yang tergambar dalam sebuah peta dengan sembilan garis putus-putus (nine-dashed line). Klaim yang pertama sebenarnya dilakukan oleh negara Republic of China (ROC/sekarang Taiwan) saat mereka mempublikasikan sebuah peta pada Desember 1947, setahun setelah ROC mengambil alih kepemilikan pulau-pulau kecil di kawasan Laut Cina Selatan dari Jepang pasca-Perang Dunia II. Klaim ini dipertegas oleh ROC dengan mengeluarkan sebuah peta wilayah yang berjudul “Map of South China Sea Islands” dengan sebelas garis putus-putus.[15] Peta ini mengadopsi peta sebelumnya yang pernah diterbitkan oleh pemerintah ROC yang berjudul Zhongguo Nanhai Daoyu Tu (Peta Kepulauan Cina di Laut Cina Selatan) pada tahun 1935.[16] Setelahnya, pemerintah Republik Cina tersingkir dari Cina daratan oleh Partai Komunis. Penguasa Cina yang baru tetap mempertahankan klaim mereka terhadap Laut Cina Selatan, namun dengan merevisi gambar klaim dari sebelas menjadi sembilan garis putus-putus. Pemerintah Taiwan, walaupun dikalahkan oleh Partai Komunis Cina, tetap menganggap Laut Cina Selatan sebagai bagian dari mereka pada sebuah pernyataan resmi pada 13 Juli 1999. Di antara daerah yang diklaim adalah Kepulauan Paracel dan Kepualauan Spratly. Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pada tahun 2009 mempertegas klaim mereka terhadap Laut Cina Selatan dengan mengirimkan peta wilayah RRT kepada PBB yang meliputi sembilan garis putus-putus. Klaim sepihak ini pun menuai protes dari negara-negara yang mempunyai kepentingan di Laut Cina Selatan.
Klaim sembilan garis putus-putus oleh Tiongkok dan Taiwan tersebut diprotes oleh beberapa negara, di antaranya adalah Vietnam, Malaysia, Filipina dan Brunei Darussalam. Beberapa negara tersebut menentang klaim Tiongkok karena tidak sesuai dengan hukum internasional yang berlaku, mengingat Tiongkok adalah salah satu negara yang meratifikasi UNCLOS. Beberapa insiden militer terjadi dalam perebutan wilayah di Laut Cina Selatan. Pada 1974, Tiongkok mengalahkan tentara Vietnam dalam pertempuran berdarah yang dikenal dengan the Battle of the Paracel Islands.[17] Angkatan Laut Tiongkok juga pernah terlibat dalam sebuah insiden dengan Angkatan Laut Filipina di Scarborough Shoal pada April 2012. Indonesia sendiri, walaupun bukan negara claimant, terlibat dalam beberapa insiden dengan kapal ikan dan kapal coast guard Tiongkok. Salah satu contoh adalah momen yang terjadi pada tahun 2016 saat kapal coast guard Tiongkok yang melakukan tindakan-tindakan provokasi berusaha mencegah KRI Imam Bonjol saat menangkap kapal ikan Tiongkok yang sedang melakukan penangkapan ikan secara illegal di ZEE Indonesia. Sengketa Laut Cina Selatan nampaknya belum akan berakhir dalam waktu dekat. Pada Juli 2016, the Permanent Court of Arbitration (PCA) memenangkan pengaduan Filipina atas klaim Tiongkok dan menyatakan bahwa klaim Tiongkok tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Namun, Tiongkok mengabaikan putusan tersebut dengan tetap mengatakan bahwa mereka mempunyai hak secara penuh atas Laut Cina Selatan. Kondisi tersebut semakin diperparah dengan reklamasi pulau-pulau di Laut Cina Selatan yang dilakukan oleh Tiongkok, Vietnam, Filipina, bahkan Malaysia. Hal ini semakin menunjukkan bahwa situasi di Laut Cina Selatan dapat memanas sewaktu-waktu.
Analisis Peta NKRI 2017 dan Tantangannya
Langkah Indonesia merilis peta terbaru serupa dengan apa yang pernah dilakukan oleh Malaysia dan Taiwan/Tiongkok seperti uraian sebelumnya. Fakta menunjukkan bahwa pengalaman sebelumnya bila tidak diantisipasi dengan seksama akan dapat menimbulkan perselisihan bahkan konflik dengan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang bersinggungan dengan kepentingan Indonesia. Sebelum melihat potensi-potensi kerawanan, perlu untuk melihat peta Indonesia 2017 secara menyeluruh.
Oegroseno dalam pernyataannya saat peluncuran Peta NKRI menjelaskan lima perbedaan yang terdapat pada peta baru ini bila dibandingkan dengan peta versi sebelumnya. Perubahan yang pertama adalah penggambaran batas laut teritorial Indonesia di Selat Riau. Dalam gambar terbaru, Indonesia melakukan penyesuaian sesuai dengan status hukum Pedra Branca, Middle Rocks dan South Ledge yang dulu pernah menjadi sengketa. Perubahan kedua adalah perbatasan RI dengan Filipina menyusul telah diratifikasinya perjanjian ZTE (Zona Tangkap Eksklusif) Indonesia-Filipna dengan UU Nomor 4 tahun 2017. Selanjutnya, Indonesia melakukan perubahan terhadap batas laut dengan Palau dengan memasukkan ZTE yang pernah ada sebelumnya ke dalam bagian dari ZEE Indonesia. Keempat, Indonesia menamai perairan di utara Pulau Natuna sebagai Laut Natuna Utara. Terakhir, ZEE Indonesia di Selat Malaka tergambar lebih menjorok ke wilayah Malaysia. Penulis berpendapat bahwa beberapa dari perubahan yang ada tersebut dapat menimbulkan ancaman tersendiri bagi Indonesia di masa mendatang.
Potensi ancaman pertama adalah dari batas Laut Teritorial di Selat Riau. Perbatasan laut di sana ditentukan berdasarkan update situasi dari sengketa antara Malaysia dan Singapura perihal kepemilikan tiga karang. Dari ketiga karang tersebut, status Pedra Branca dan Middle Rocks sudah diputuskan. Pedra Branca merupakan wilayah Singapura, sedangkan Middle Rocks menjadi bagian kedaulatan Malaysia. Hanya South Ledge yang belum ditentukan karena masih harus menunggu hasil perundingan batas wilayah maritim antara Malaysia dan Singapura. Peta NKRI 2017 menggambarkan South Ledge yang posisinya menjorok ke selatan digambarkan bukan sebagai bagian dari Indonesia dan diberi alokasi wilayah laut di sekelilingnya selebar 500 meter. Hal ini berpotensi menimbulkan tantangan tersendiri di masa mendatang, mengingat batas laut teritorial Indonesia yang digambarkan berada di utara South Ledge. Tidak menutup kemungkinan jika di masa mendatang sudah diputuskan pemilik sah dari South Ledge, di antara Singapura atau Malaysia, akan mempersoalkan status perbatasan laut di sana. Malaysia sudah mengantisipasi hal tersebut dengan telah meresmikan Pangkalan Maritim Terpadu Abu Bakar di Middle Rocks pada tanggal 1 Agustus 2017. Pangkalan yang memiliki dermaga sepanjang 316 meter dan helipad tersebut rencananya akan digunakan oleh TLDM, coast guard dan polisi maritim.[18] Hal ini merupakan antisipasi dari Malaysia terhadap perkembangan situasi yang mungkin timbul dari sengketa wilayah yang belum final seluruhnya.
Tantangan kedua dari perubahan-perubahan yang ada adalah permasalahan batas dengan Palau. Dalam peta lama, Indonesia mengakomodir keberadaan Pulau Helen dan Pulau Tobi dengan memberi area segi empat berukuran kurang lebih 95 x 65 mil laut yang dinyatakan sebagai ZTE. Area segi empat tersebut sekarang dihilangkan. Permasalahan batas laut dengan Palau tidak pernah ada yang mempermasalahkan. Hubungan diplomatik antara Indonesia dan Palau sendiri tidak pernah ada masalah. Namun, isu batas laut dengan Palau ini pernah dibahas oleh pengamat hukum laut internasional John Prescott dalam bukunya yang berjudul Undelimited Maritime Boundaries in the Pacific Ocean Excluding the Asian Rim. Dalam salah satu bagian buku tersebut, Prescott berpendapat bahwa Indonesia seharusnya mengambil prinsip garis tengah (equidistant) dalam menarik garis batas ZEE dengan memperhitungkan keberadaan Pulau Helen dan Pulau Tobi yang terletak di timur laut Halamahera.[19] Prescott berharap bahwa Indonesia seharusnya lebih memperhatikan Palau mengingat Palau merupakan negara yang jauh lebih miskin dari Indonesia, sehingga layak untuk mendapat porsi ZEE yang lebih luas.[20] Prescott merupakan seorang warga negara Australia yang sekarang menyandang gelar Professor Emeritus di University of Melbourne. Dari hal tersebut, Indonesia perlu mengantisipasi respons Australia di masa mendatang berkaitan dengan isu batas wilayah laut dengan Palau ini. Tidak lama ini, Australia mengeluarkan dokumen Buku Putih Kebijakan Luar Negeri Australia. Dalam dokumen tersebut, salah satu prioritas yang dicanangkan oleh Pemerintah Australia adalah mendukung pembangunan ekonomi negara-negara kawasan Pasifik, termasuk dalam bidang manajemen sumber daya alam, termasuk perikanan.[21] Sikap Australia dan negara-negara kepulauan Pasifik yang tidak pro-Indonesia dalam beberapa isu internasional patut diwaspadai, terkait dengan perubahan batas ZEE Indonesia dengan Palau ini.
Isu terakhir yang berpotensi negatif terhadap Indonesia adalah tentang penamaan Laut Natuna Utara. Pada peta lama, hanya tercantum nama “Laut Natuna” pada perairan selatan Kepulauan Natuna. Pemerintah memberi nama Laut Natuna Utara pada perairan di utara Natuna menggantikan nama “Laut Cina Selatan” yang ada sebelumnya. Hal ini karena telah berlangsung “kegiatan eksplorasi migas dengan menggunakan nama Natuna Utara dan Selatan.”[22] Tidak menunggu lama, otoritas Tiongkok mengirim sebuah surat resmi ke Kedutaan Besar Indonesia di Beijing terkait dengan penamaan Laut Natuna Utara ini. Dalam surat tersebut, Pemerintah Tiongkok memprotes langkah Indonesia tersebut karena dapat “menghasilkan komplikasi dan perluasan perselisihan, serta memengaruhi perdamaian dan stabilitas.”[23] Pemerintah Indonesia bergeming pada tuntutan Tiongkok tersebut karena berpendaat bahwa perubahan nama yang dilakukan Indonesia hanya sebatas ZEE Indonesia, tidak termasuk keseluruhan Laut Cina Selatan.[24] Penamaan laut di kawasan Laut Cina Selatan sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh Indonesia saja. Vietnam menamai kawasan tersebut sebagai “Laut Timur.” Filipina juga menyebut perairan Laut Cina Selatan sebagai “Laut Filipina Barat.” Indonesia perlu mengantisipasi potensi kerawanan yang mungkin terjadi sebagai implikasi penamaan ini mengingat Vietnam dan Filipina adalah negara-negara yang memiliki intensitas konflik dengan Tiongkok pada isu Laut Cina Selatan yang paling tinggi.
Dua perubahan yang lain menurut penulis mengandung potensi konflik yang kecil. Permasalahan ZEE Indonesia di Selat Malaka yang menjorok ke arah Malaysia kecil kemungkinan menimbulkan konflik dengan Malaysia. Hal tersebut karena potensi sumber daya alam di daerah sana, baik perikanan maupun migas, tidak begitu besar. Garis perbatasan yang dibuat oleh Indonesia bertujuan untuk memperjelas wilayah patroli laut di kawasan tersebut, mengingat Indonesia dan Malaysia sendiri masih merundingkan permasalahan ini. Mengenai garis batas laut dengan Filipina, hal tersebut semakin memperjelas situasi di perairan tersebut karena kedua negara sudah sepakat menyetujui perbatasan ZTE tersebut.
Kesimpulan
Indonesia menegaskan dirinya sebagai negara maritim dunia dengan merilis Peta NKRI 2017. Pembuatan peta yang mencantumkan garis batas wilayah Indonesia tersebut merupakan sebuah bentuk penegasan kedaulatan wilayah Indonesia. Hal yang sama pernah dilaksanakan oleh para pendahulu bangsa Indonesia dalam usaha-usaha pencarian kedaulatan Indonesia. Puncak dari penegasan jati diri Indonesia sebagai Negara Maritim adalah Deklarasi Juanda pada tanggal 13 Desember 1957 yang sekarang diperingati sebagai Hari Nusantara.
Penegasan tersebut, bagaimanapun mengandung beberapa risiko berkaitan dengan kepentingan-kepentingan negara lain dalam sistem dunia internasional. Beberapa contoh klaim unilateral yang menjadi pemicu konflik antarnegara pernah dirasakan oleh Malaysia dan Tiongkok. Peta Baru Malaysia yang dipublikasikan pada tahun 1979 menjadi sumber masalah dengan beberapa negara tetangganya. Dengan Singapura, Malaysia mengalami permasalahan saat Singapura melakukan reklamasi di kawasan Tuas View. Selain itu, sengketa kepemilikan Pedra Branca, Middle Rocks, dan South Ledge juga diakibatkan dari publikasi Peta Baru Malaysia ini. Konflik Laut Cina Selatan juga merupakan akibat dari pengakuan sepihak Tiongkok yang tidak sesuai dengan kesepakatan internasional. Klaim Tiongkok pada seluruh perairan Laut Cina Selatan telah menimbulkan ketegangan dengan negara-negara kawasan Asia Tenggara, yaitu Vietnam, Malaysia, Filipina, dan dalam kadar tertentu, Indonesia. Indonesia beberapa kali mengalami insiden dengan coast guard Tiongkok saat melaksanakan tindakan penangkapan kapal ikan Tiongkok yang beroperasi secara ilegal ZEE Indonesia. Hal-hal tersebut menunjukkan potensi-potensi ancaman yang mungkin timbul dari sebuah publikasi peta yang berisikan klaim wilayah oleh sebuah negara.
Peta NKRI 2017 yang dipublikasikan pada Juli 2017 juga menyimpan potensi ancaman bagi Indonesia. Peta tersebut memiliki lima perubahan dari peta sebelumnya. Dari perubahan-perubahan yang ada tersebut, potensi tantangan tertinggi adalah permasalahan penamaan Laut Natuna Utara. Potensi sedang pada permasalahan perubahan batas maritim dengan Palau dan batas teritorial Indonesia di Selat Riau. Permasalahan penggambaran batas ZEE Indonesia di Selat Malaka yang menjorok ke arah Malaysia mengandung potensi konflik yang rendah. Sedangkan, penetapan batas ZTE dengan Filipina merupakan hasil dari kesepakatan kedua negara sebelumnya yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Tantangan-tantangan yang mungkin terjadi di masa mendatang seharusnya mulai diantisipasi oleh Pemerintah Indonesia. Antisipasi yang dilakukan harus bersifat komprehensif dan lintas-sektor. TNI sendiri sudah mengantisipasi konflik di Laut Cina Selatan/Laut Natuna Utara dengan membangun Pangkalan TNI Terpadu di Natuna. Selain itu, TNI juga berencana membangun Pangkalan TNI Terpadu di beberapa pulau terluar Indonesia untuk mengantisipasi ancaman yang datang dari utara maupun selatan. Namun, langkah TNI ini merupakan langkah awal yang patut mendapat dukungan dari seluruh Kementerian/lembaga terkait lainnya. Pelajaran yang didapat dari pengalaman Malaysia dan Tiongkok sudah seharusnya menjadikan diri kita lebih waspada.
[1] Ade Irma Junida, “Pemerintah Mutakhirkan Peta NKRI,” antaranews.com, 14 Juli 2017, https://www.antaranews.com/berita/640273/pemerintah-mutakhirkan-peta-nkri.
[2] Aulia Rahmat, “Mengenal Peta Baru Indonesia,” Net.Z, 15 Juli 2017, https://netz.id/news/2017/07/15/00416/1024140717/mengenal-peta-baru-indonesia.
[3] Ronggo Astungkoro, “Cina Protes Nama Laut Natuna Utara, Jokowi Takkan Gentar,” Republika, 4 September 2017, http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/17/09/04/ovr5j1330-cina-protes-nama-laut-natuna-utara-jokowi-takkan-gentar.
[4] “Signing of the Anglo-Dutch Treaty (Treaty of London) of 1824,” History SG, National Library Board Singapore, diakses pada 6 Desember 2017, http://eresources.nlb.gov.sg/history/events/5005d886-9c27-421e-a22d-44fb5965350c.
[5] Dino Patti Djalal, “Geopolitical Concepts and Maritime Territorial Behaviour in Indonesian Foregin Policy,” (Ph.D. diss., Simon Fraser University, 1990), 36.
[6] Alfred Daniel Matthews, “Indonesian Maritime Security Cooperation in the Malacca Straits,” (Master’s Thesis, Naval Postgraduate School, 2015), 13.
[7] Ibid., 34.
[8] Liow, Politics of Indonesia-Malaysia Relations, 118.
[9] “Apa itu….? Deklarasi Djuanda,”Koarmabar, November 2012, http://koarmabar.tnial.mil.id/PENPAS/tabid/66/articleType/ArticleView/articleId/433/APA-ITU-DEKLARASI-DJUANDA.aspx.
[10] Djalal, “Geopolitical Concepts and Maritime Territorial Behaviour,” 97.
[11] Matthew, “Indonesian Maritime Security Cooperation,” 19.
[12] “Arif H. Oegroseno: Peta Malaysia Diprotes Banyak Negara,” Tempo.co, 22 Juni 2009, https://nasional.tempo.co/read/183050/arif-h-oegroseno-peta-malaysia-diprotes-banyak-negara.
[13] Case Concerning Land Reclamation by Singapore in and around the Straits of Johor (Malaysia v. Singapore): Provisional Measures: Order (Hamburg, 2003), https://www.itlos.org/fileadmin/itlos/documents/cases/case_no_12/Order.08.10.03.E.pdf.
[14] Yamin, “Pancang Ideologi di Tapat Batas Republik Indonesia dan Malaysia,” Membangun Kedaulatan Bangsa Berdasarkan Nilai-Nilai Pancasila: Pemberdayaan Masyarakat Dalam Kawasan Terluar, Terdepan, dan Tertinggal (3T), https://books.google.co.id/books?id=N8ClCwAAQBAJ&pg=PA102&lpg=PA102&dq=peta+malaysia+1969&source=bl&ots=tFZNGgZVau&sig=L7mr_spAiXRhr_8-U0QxF-cC5O0&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwienf-2ifrXAhXHsY8KHc3WAJcQ6AEITTAI#v=onepage&q=peta%20malaysia%201969&f=false
[15] Brown, Peter J. (8 December 2009). “Calculated ambiguity in the South China Sea”. Asia Times. Retrieved 5 February 2014.
[16] “Limits in the Seas” (PDF). Office of Ocean and Polar Affairs, U.S. Department of State.
[17] Veeramalla Anjaiah, “Paracel Islands Dispute Still Lingers on after 40 Years,” The Jakarta Post, January 19, 2014, http://www.thejakartapost.com/news/2014/01/19/paracel-islands-dispute-still-lingersafter-40-years.html%20.
[18] Shannon Teoh, “Malaysia Opens Maritime Base Near Pedra Branca,” the Straits Times, 6 Agustus 2017, http://www.straitstimes.com/asia/malaysia-opens-maritime-base-near-pedra-branca.
[19] John Prescott and Grant Boyes, Undelimited Maritime Boundaries in the Pacific Ocean Excluding the Asian Rim (Durham: International Boundaries Research Unit, 2000), 35.
[20] Ibid.
[21] 2017 Foreign Policy White Paper,Australian Government, 104.
[22] Bagus Ramadhan, “Peta Indonesia Diperbarui, Begini Perbedaannya dengan Peta Lama,” GoodNews From Indonesia,20 Juli 2017, https://www.goodnewsfromindonesia.id/2017/07/20/peta-indonesia-diperbarui-begini-perbedaannya-dengan-yang-peta-lama.
[23] Berlianto, “China Tuntut Indonesia Batalkan Penamaan Laut Natuna Utara,” Sindonews.com, 3 September 2017, https://international.sindonews.com/read/1236125/40/china-tuntut-indonesia-batalkan-penamaan-laut-natuna-utara-1504375223.
[24] Tiara Sutari, “Luhut Angkat Suara Sikapi Protes China Soal Laut Natuna Utara,” CNN Indonesia, 17 Juli 2017, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170717170726-20-228424/luhut-angkat-suara-sikapi-protes-china-soal-laut-natuna-utara/.