Murah njaluk slamet
Hari ini hari Jumat, hari weekend. Seluruh siswa EAOM melaksanakan weekend, mudik ke rumah mereka masing-masing. Hal sebaliknya terjadi pada saya, salah satu siswa asing. Hanya bisa gigit jari melihat mereka semua tersenyum lebar dengan mata berbinar hendak menemui keluarga masing-masing.
Memori terlempar jauh ke belakang, ke rentang tahun 2003 sampai 2007. Yah, tahun-tahun tersebut adalah masa saya menjadi kadet dan pasis di AAL. Enak saja saya waktu itu, begitu ada pesiar ataupun weekend saya bisa dengan cepat pulang ke rumah. Hanya setengah perjalanan dengan taxi dari AAL saya sudah bisa sungkep ke orang tua saya. Baru terasa beratnya menjadi orang perantauan seperti sekarang ini. Teringat nasib teman-teman saya yang keluarganya jauh pada waktu masa-masa di AAL. Paling banter mereka pulang setahun sekali pada saat lebaran atau hari natal. Sungguh bersyukur saya karena setiap minggu saya bisa menemui keluarga.
Akhirnya, satu-satunya alternatif untuk mengisi hari Jumat itu adalah dengan berjalan-jalan keliling kota Toulon. Alternatif satu-satunya yang murah maksud saya. Maklum, bagi orang Indonesia seperti saya, hidup di Negara Perancis ini di mana-mana terasa mahal, karena harus menghemat uang saku yang dibawa dari Indonesia. Ini masih bulan pertama, dan masih ada lima bulan selanjutnya yang harus ditempuh.
Dari Arsenal (Naval Base Toulon) saya naik bus ke penjagaan depan. Kalau dengan berjalan kaki bisa menghabiskan waktu 40 menit dari Dermaga kapal saya ke pintu depan, belum lagi tersengat dinginnya angin Toulon. Berempat saya waktu itu dengan teman-teman saya, Malaysia, Maroko dan Perancis yang tidak week-end karena rumahnya jauh. Dengan membawa sebotol air putih dari kapal, saya menjelajah jalanan kota Toulon dengan berjalan kaki. Tak lupa sambil sesekali menjepret pemandangan dengan kamera pinjaman dari mama. Sempat mampir ke resto China karena rindu masakan China, membeli tiga buah siomay udang dan dua buah lumpia.
Karena saya hendak membeli kado untuk sahabat saya di Brest, saya berpisah dengan teman-teman saya. Jadilah saya menyusuri kota sendiri. Mampir di toko peralatan kebaharian, saya membeli lonceng kapal untuk kado dan meluncur ke tempat membuat plat nama untuk ditempel sebagai ucapan selamat ulang tahun. Cukup mahal buat saya kalau dibandingkan dengan harga benda dan jasa yang sama di Indonesia. Namun tak mengapa, kapan lagi bisa mengirim sesuatu ke Perancis.
Lanjut menuju ke supermarket terdekat yang berada di samping stadion rugby Mayol, Carrefour. Di sana tergoda untuk membeli alat cukur seharga 10 euro. Murah sekali pikir saya, karena untuk cukur di coiffeur sekali potong menghabiskan 10 euro. Jika saya membeli alat cukur maka saya bisa menggunakan untuk berkali-kali, dan itu berarti lebih irit. Masuklah alat cukur merk “Carrefour” itu ke keranjang belanjaan saya bersama-sama dengan kertas kado, kartu ucapan selamat ulang tahun, selotip dan antiseptik sepatu. Setelah membayar pulanglah saya ke kapal dengan berjalan kaki dari penjagaan depan.
Esok paginya saya minta tolong teman Malaysia untuk mencukur saya. Dengan beralaskan plastik sampah saya duduk dengan bertelanjang dada. Alat cukur baru saya dinyalakan, dan mulai ditempelkan di kepala saya. Tapi apa yang terjadi ? Alat cukur itu tidak tajam sama-sekali ! Gila, belum lagi digunakan sudah tumpul. Setelah saya lihat dengan seksama, ternyata pisau cukurnya tidak bergerak, hanya bergetar. Bagaimana bisa mencukur kalau begini ? Ah, terbuang sudah 10 euro. Hanya demi menghemat ongkos cukur malah kacau jadinya.
Jadi, ternyata di Eropa ada juga yang seperti ini (curang). Mengapa murah ? Karena tidak bisa dipakai. Tapi kejadian ini patut disyukuri juga, karena dengan begini saya mendapat pelajaran berharga : Murah njaluk slamet !