Merasakan Metro di Paris
Jika mendengar kata Paris, maka yang ada di pikiran orang-orang pastinya Menara Eiffel, sungai Sein, Notre Dame de Paris, dan lainnya. Hal-hal itu pula yang ada di pikiran saya saat pergi ke Paris. Mengingat waktu saya di Paris tidak begitu lama, hanya tiga hari, maka saya manfaatkan waktu saya yang ada untuk menjelajah kota Paris ini. Sebagai informasi, saya berada di Paris ini hanya sekedar transit. Pada tanggal 5 Februari saya sudah harus meluncur ke Brest untuk mengikuti pembukaan pendidikan pada esok harinya di Ecole Navale.
Hari pertama di Paris Mayor Fildalah yang menjadi guide saya. Beliaulah yang mengenalkan saya pertama kali dengan yang namanya Metro. Dari Kedutaan Indonesia menuju ke École de Guerre, kemudian menuju ke studionya, semua ditempuh dengan menggunakan metro. Pada saat itu tak usah ditanya berapa saya harus membayar karena saya masuk berkali-kali ke stasiun metro dengan menggunakan kartu pas milik Mayor Filda. Kartu tersebut didapat dengan membayar kurang lebih 60 euro per bulan dan dapat digunakan berulang kali. Hanya mereka yang tinggal cukup lama di Paris yang bisa membeli kartu tersebut. Jadi, pada saat di pintu masuk metro, saya berada di depan Mayor Filda, sehingga kami bisa masuk dengan sekali gesek.
Tadinya sedikit was-was dengan kelakuan saya, mengingat negara-negara Eropa terkenal dengan disiplinnya. Namun ternyata saya tidak seorang diri, banyak saya lihat orang-orang Perancis sendiri melakukan hal itu. Ada yang melompat, ada yang masuk lewat pintu keluar sehingga terbebas dari kewajiban membeli tiket. Hati ini sedikit tenang jadinya, apalagi tidak ada petugas yang mengawasi. Yang ada hanya penjual tiket yang diam saja melihat semua ini terjadi.
Metro di Paris selalu penuh dengan penumpang, utamanya pada jam-jam sibuk. Mulai beroperasi jam enam pagi hingga jam satu dini hari kalau saya tidak salah. Yang memudahkan bagi pengguna awam seperti saya, adanya peta petunjuk jalur-jalur metro seluruh Paris, lengkap dengan tempat-tempat wisata utama. Jadi, bagi kita yang awam, tidak perlu yang namanya pemandu untuk dapat berjalan-jalan keliling Paris.
Hari Sabtu, satu hari sebelum saya berangkat ke Brest, saya menyempatkan diri untuk berpetualang berkeliling Paris. Saya mulai dari Stasiun St. Agustin, stasiun terdekat dengan tempat saya. Di sana saya membeli lima lembar tiket metro. Dengan percaya diri saya meluncur dengan metro ligne 6 dan turun di stasiun Roosevelt. Di sana oper metro ligne 1 dan turun di Trocadero. Naik ke permukaan, jalan 50 meter, terpampang indah Menara Eiffel yang terkenal itu.
Kebetulan hari itu turun salju yang pertama kalinya di Paris tahun ini. Dan pertama kali juga tangan saya menyentuh salju. Di Eiffel saya puas-puaskan untuk berfoto-foto dengan berlatarkan pemandangan bersalju. Ternyata pada saat salju turun suhu di sana mendingan, lebih dingin kalau tidak ada salju. Untungnya saya ditemani tripod kesayangan saya, yang memungkinkan saya untuk berfoto-foto sepuas diri.
Ada cerita lucu tentang tripod saya ini. Sebenarnya tripod ini baru saya beli menjelang keberangkatan saya ke Perancis. Saya membeli di SPI, mall terdekat dari rumah mungil saya dengan harga 300 ribu rupiah. Sengaja beli yang murah, biar kalau nanti pulang dari Perancis bisa dibuang kalau kelebihan bagasi. Pada saat membayar, karena saya dan istri tidak membawa uang cash sebesar itu, pergilah kami ke ATM terdekat dengan diantar oleh si penjual. Setelah menggesek sejumlah uang yang diperlukan, saya bayarkan ke si penjual dan dia pun menyerahkan tripodnya kepada saya. Siapa yang menyangka bahwa itulah terakhir kali saya menggunakan kartu ATM tersebut. Ya, dua hari kemuadian saat istri saya hendak menggunakan kartu tersebut, kartu itu tidak dapat ditemukan. Akhirnya hilangnya kartu tersebut menimbulkan masalah baru bagi saya nantinya.
Well, kembali ke metro. Dari menara Eiffel saya meluncur ke Notre Dame de Paris. Ternyata stasiun metro yang terdekat dengan Notre Dame itu terletak tepat di samping Sungai Sein. Sekalian foto-foto dengan sungai Sein, sungai yang saya jadikan tema paparan saya pada waktu mengikuti kursus bahasa Perancis di Kemhan. Sampai di Notre Dame, ternyata antrian sudah panjang. Lumayan kedinginan juga saat itu karena suhu di kisaran minus. Ternyata untuk masuk ke dalam para pengunjung tidak dipungut biaya, hanya harus melepas tutup kepala dan kacamata. Bagus juga dalamnya, namun saya tidak dapat menikmati dengan seksama karena segera harus meluncur ke tujuan berikutnya.
Louvre ! Di sana hanya foto-foto di luar karena untuk masuk harus membayar sejumlah euro. Dari louvre berpindah ke Arc de Triomph. Sekalian di sana foto-foto di Champs Elyssée. Kapan-kapan akan saya ceritakan detail sejarah Arc de Tiromph ini. Di sinilah tempat diselenggarakan peringatan hari nasional Perancis. Sebuah monumen bersejarah untuk mengenal para pejuang tak dikenal.
Lumayanlah, dalam beberapa jam sudah dapat berkeliling Paris dengan menggunakan Metro. Lain kali Insya Allah berkunjung lagi ke Paris, dengan keluarga kecil saya tentunya, dan dengan suhu yang lebih baik dari ini. Namun yang pasti pada tanggal 26 Juli saya akan kembali menginjakkan kaki di Paris, untuk menuju ke tanah air tercinta.
26 Juli, hari yang ditunggu-tunggu.