Menemukan harta karun di Cape Town
Cape Town,
Jauh dari tanah air, salah satu yang dirindukan seseorang adalah makanan. Seenak apapun makanan di tempat baru, pasti belum bisa mengobati kerinduan pada makanan asal tanah air. Hal ini pun terjadi pada saya, yang sudah meninggalkan tanah air tercinta kurang lebih 104 hari lamanya. Walaupun makanan yang saya makan sehari-hari boleh dibilang lebih enak dan lebih hygienis daripada makanan di rumah, tetap saja itu semua tidak bisa menggantikan nikmatnya makanan asal. Mungkin karena otak kita sejak kecil sudah terpogram bahwa sego pecel itu enak, akhirnya hal itu terpendam di alam bawah sandar kita.
Selama persinggahan saya, tidak pernah saya menjumpai ada restoran Indonesia. Paling banter yang saya jumpai adalah restoran Cina, dengan citarasa yang mendekati masakan Cina di Indonesia. Hal itulah yang selalu saya cari ketika sandar, restoran Cina. Namun ketika sandar di Beirut, saya menemukan restoran Philiphina dengan masakan khasnya : sotong asam manis. Langsung saja saya pesan menu tersebut dan saya santap tanpa pikir panjang dengan porsi nasi segunung. Di Beirut juga saya sempat membeli Indomie dalam kemasan gelas sebanyak dua kardus untuk bekal selama di kapal. Setelah itu kami singgah di Djibouti, Mombassa dan La Reunion. Di Djibouti dan La Reunion saya tidak menemukan ada supermarket yang menjual indomie. Di Mombassa saya sempat menemukan sebuah pusat perbelanjaan yang menjual indomie, tapi tidak dalam bentuk gelas. Akhirnya saya tidak jadi membelinya karena alasan kepraktisan.
Dari La Reunion, kami berlayar menuju Cape Town. Perjalanan yang panjang dari Beirut membuat stok indomie saya semakin menipis. Akhirnya saya mencoba peruntungan untuk mencari referensi tempat orang menjual indomie di Cape Town melalui internet. Setelah beberapa saat mencari dengan bantuan Mbah Google, saya temukan juga blog yang bercerita tentang tempat membeli indomie. Saya catat alamat beserta nomor teleponnya.
Pada saat berada di Cape Town saya segera mencari tempat tersebut. Sebenarnya dari pelabuhan tempat kapal saya bersandar, tempat yang dimaksud cukup jauh. Namun untungnya kami disediakan shuttle oleh pihak kapal sebagai sarana transportasi untuk menuju Water Front, sebuah kawasan keramaian di Cape Town. Pagi-pagi jam delapan pagi saya sudah berangkat naik shuttle tersebut, dan saya satu-satunya penumpang yang ada dalam mobil tersebut, karena jam 8 pagi bagi orang Perancis masih waktu shubuh.
Tempat yang dimaksud berada di daerah Sea Point, tak jauh dari Water Front. Beruntung saya pada waktu itu karena sopir shuttle tersebut bersedia mengantarkan saya hingga ke kawasan Green Point, yang notabenenya lebih dekat ke Sea Point. Dari kawasan Green Point saya mencegat sebuah bemo berbentuk minibus untuk menuju ke tempat yang saya cari. Sesampai di kawasan yang dimaksud segera saya turun dari “bemo” tersebut setelah sebelumnya membayar 4,5 rand atau sekitar 5000 rupiah.
Setelah mencari-cari dengan bertanya-tanya selama kurang lebih 15 menit, sampailah saya ke tempat yang saya cari-cari. Ternyata tempat itu berwujud sebuah toko kecil yang bernama New Asian Spice Supermarket, beralamat di 186 Main Road, Sea Point, Cape Town. Bagi yang membutuhkan nomor teleponnya, dapat menghubungi di +27214340598. Tampaknya saya datang tepat waktu karena toko itu ternyata baru buka pukul 9 pagi. Di sana tidak menyediakan indomie kemasan gelas. Namun saya putuskan untuk membeli karena saya perkirakan akan sulit untuk menemukan indomie di Rio de Janeiro, Abidjan ataupun Dakkar. Satu bungkusnya dihargai 4 rand atau sekitar 4.400 rupiah. Sayangnya hanya tersedia dua rasa di sana, mie goreng dan kaldu ayam. Saya pun membeli sebungkus berisikan setengah goreng dan setengah sisanya kaldu ayam.
Puas membeli dan membayar saya pun bergegas kembali ke kapal untuk menyimpan harta karun saya itu. Pulangnya saya tidak menggunakan bemo yang sama dengan arah sebaliknya. Saya memilih untuk mencoba bis “Golden Arrow” yang turun tepat di depan tempat penjemputan shuttle saya.
Dari Main Road saya berjalan kaki ke Beach Road untuk menunggu di halte bis yang tersedia. Halte bisnya cukup keren dengan pemandangan ombak lautan yang berdebut kencang. Lima belas menit menunggu bisnya pun tiba. Segera saya naik dan membayar 8 rand atau sekitar 8.800 rupiah untuk menuju ke kawasan Water Front.
Mungkin ada yang penasaran bagaimana cara saya memasak mie instan di kapal ? Karena memang saya tidak dapat mengakses kompor di kapal. Beruntung saya pernah menimba ilmu selama 4 tahun di Bumi Moro. Ilmu ngecop pun saya terapkan. Dengan bantuan sebuah gelas plastik berwarna oranye, bungkus indomie tadi saya masukkan ke dalam gelas untuk kemudian disiram air panas (untungnya di kapal tersedia heater). Didiamkan selama 3 menit, siaplah indomie tersebut untuk disantap. Praktis, walaupun tidak sehat. Namun masih bisa dimaklumi karena saya dalam situasi “survival”.
Nilai moral dari cerita di atas : bangga sebagai bangsa Indonesia karena ternyata Indomie sudah melanglang buana hingga Lebanon, Kenya dan terakhir Afrika Selatan.