Eeasy Reads

Escale pertama

Beirut, Libanon

“rompre le poste de combat… rompre le poste de combat..”

Bunyi siaran kapal tadi menandakan bahwa kapal yang saya tumpangi ini, BPC Dixmude, telah sandar di pelabuhan Beirut, Libanon. Sebuah escale pertama kali di luar negeri buat kapal ini. Sandarnya kapal bukan berarti leha-leha, acara pertama langsung menanti: kunjungan duta besar Perancis. Selepas kunjungan seluruh kru kapal melaksanakan pembersihan umum seperti layaknya yang harus dilakukan di sebuah kapal perang di negara manapun.

Selepas pembersihan seluruh ABK sibuk dengan persiapan pesiar masing-masing. Maklum, ini adalah pesiar pertama buat seluruh ABK Dixmude selama sejarah berdirinya kapal ini. Namun, kabar buruk datang dari siaran kapal: Pesiar ditunda karena perijinan untuk ABK kapal masih belum diacc oleh pihak yang berwenang di Libanon. Waktu pesiar masih menunggu pemberitahuan lebih lanjut.

Glodak… bubar sudah rencana yang sudah saya susun sedemikian rupa. Utamanya skypean dengan anak istri, harus ditunda dulu sampai dua hari kemudian.

Sebenarnya target saya pesiar di Beirut ini sederhana :
1. Cari warnet untuk skype dengan keluarga.
2. Cari kartu pos, perangko, dan mengirimkannya.
3. Reparasi kacamata (kacamata saya lepas murnya, perlu obeng kecil untuk memperbaiki).
4. Cari magnet untuk cinderamata.
5. Cari indomie, untuk bekal pelayaran.

Setelah menunggu dua tiga jam, akhirnya pengumuman yang ditunggu-tunggu datang juga. Seluruh ABK, termasuk pasis diijinkan pesiar hingga pukul 01.00 pagi. Segeralah saya berganti pakaian dan segera menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di bumi Libanon.

Kesan yang saya dapat pertama kali adalah DINGIN. Suhu waktu itu sangat dingin, hampir seperti di Perancis. Turunnya hujan semakin menambah dinginnya sore itu. Dengan berbasah-basah kuyup kaki ini saya langkahkan entah ke mana. Cukup megah juga Beirut, jauh dari kesan kota yang pernah dilanda konflik. Pembangunan yang dilakukan di Beirut sangat pesat semenjak dilanda kehancuran pada perang saudara yang terjadi pada tahun 75 sampai 90an. Namun suasana lalu lintas sudah menurun jika dibandingkan dengan di Perancis. Di Beirut kalau menyeberang jalan harus dengan penuh percaya diri, mirip-mirip di Indonesia lah. Malah di Beirut lebih parah karena tidak ada yang namanya zebra cross. Nampaknya semakin ke timur tingkat kesadaran semakin menurun.

Karena keluar pesiar sudah terlambat, maka tidak ada waktu lagi untuk mencari warnet untuk skype. Hari itu hanya nongkron di restoran arab, makan kebab dan berwhatsapp dengan menggunakan Blackberry saya. Blackberry andalah yang sekarang saya hanya perlu mengisi ulang batereinya dua hari sekali. Untungnya di resto itu ada wifi dan kebabnya tidak mengecewakan, walaupun harus ditebuh dengan harga yang “bagus” juga. Dan, tak jauh dari situ saya menjumpai sebuah toko cinderamata yang juga menjual kartu pos. Tanpa pikir panjang, tiga buah kartu pos dan satu magnet bendera libanon sudah berpindah tempat ke tas bodypack saya.

Praktis, selama tiga hari escale di Beirut kami hanya mendapat pesiar selama dua hari. Karena pada hari kedua kami harus mempersiapkan kapal untuk kunjungan Penglima Tentara Perancis. Semoga di hari terakhir besok sisa to-do list saya bisa saya penuhi semua, untuk bekal pelayaran berikutnya.

(*NB: saat menulis ini saya tidak tahu bahwa tahun depan saya akan kembali ke kota ini bersama KRI Diponegoro-365 menjalani tugas sebagai pasukan PBB)

Share :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *