Eeasy Reads

Escale ke-2: Djibouti

Setelah melewati kurang lebih seminggu perjalanan di Georges Leygues, dan empat hari latihan di darat, sampailah juga kami ke tempat persinggahan ke-2, Djibouti.  Dengan posisi menghadap ke Laut Merah, Djibouti merupakan Negara yang strategis sebagai pangkalan militer, utamanya bagi Negara-negara yang mempunyai kepentingan di Timur Tengah.

Tak banyak yang bisa diceritakan dari Djibouti, selain karena kotanya yang “gitu-gitu” aja, juga karena saya tak banyak menghabiskan waktu untuk berjalan-jalan. Panas adalah salah satu alasan untuk berbetah diri “ngadem” di kapal. Total lima hari kami sandar di Djibouti, cukup lama untuk hitungan sandar sebuah kapal perang dalam suatu misi.

Satu-satunya tempat menarik di Djibouti adalah pusat kotanya. Pusat kota Djibouti merupakan daerah yang banyak dikunjungi oleh wisatawan mancanegara, bukan karena bentuk kotanya yang indah, namun lebih karena banyaknya bar dan restoran yang bertebaran di sana. Karena konsumennya adalah wisatawan mancanegara, maka secara otomatis harga-harga yang ditawarkan ikut menyesuaikan. Di sebuah restoran yang bernama l’historil café, kita harus merogoh kocek sejumlah 26.000 rupiah untuk segelas coca-cola. Bahkan, harga sebuah kartu pos di Djibouti lebih mahal daripada harga kartu pos di Toulon, Perancis.

Berjalan-jalan di Djibouti amatlah tidak nyaman. Selain karena panas yang menyengat, juga karena banyaknya pedagang cinderamata yang menawarkan barang dagangannya dengan cara memaksa. Walaupun sudah terang-terangan tidak berniat membeli, masih saja mereka menguntit kita. Bukan hanya pedagang souvenir, kalau kita bertanya sebuah tempat makan oleh mereka kita akan diantar hingga ke tempat tujuan tanpa diminta, dengan harapan untuk diberi imbalan yang setimpal tentunya. Belum lagi banyaknya pengemis anak-anak yang meminta-minta di sepanjang jalan. Sempat juga melihat sekilas Planet Hollywood dari luar, yang lebih mirip kafe remang-remang di Indonesia, menyedihkan. Kalau sudah begini baru merasakan betapa masih mendingnya Indonesia.

Satu-satunya yang bagus dari Djibouti adalah lautnya. Bersih sekali, walaupun di perairan pelabuhan. Hari terakhir kami pesiar di sebuah pulau yang bernama Muscha, ditempuh dengan sebuah perahu motor selama setengah jam lamanya. Dari jauh pulaunya terlihat tandus, namun setelah didekati ternyata sangat indah. Berbalutkan pasir putih yang terhampar dengan indah dan laut yang sangat bersih, menggoda hati ini untuk segera berenang. Dan seperti kebiasaan bule-bule yang “ndeso” melihat panas dan pantai, semuanya pada berjemur di sepanjang pantai. Sempat pula saya ngandok spaghetti di rumah penjaga pantai. Bersama kawan dari Maroko, Tunisia, Belgia, Perancis, kami makan spaghetti hangat bersama-sama dari satu mangkok besar, tanpa sendok dan garpu! Heran juga, bahkan orang Belgia dan Perancis bisa juga makan secara “muluk”. Hingga akhirnya nantinya saya menyesali keputusan saya ikut makan di sana karena esoknya saya mengalami diare yang mengharuskan saya untuk berobat ke rumah sakit.

Itulah sekilas yang bisa saya ceritakan dari sebuah Negara yang bernama Djibouti, mantan jajahan Perancis, yang hingga kini masih belum berdaulat secara penuh. Kami pun bertolak melaut menuju ke tempat persinggahan selanjutnya, Mombassa, Kenya.

Share :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *