BUKA Mata: Review 3 bulan IPO Bukalapak
Peristiwa IPO-nya Bukalapak mungkin merupakan salah satu peristiwa di pasar saham Indonesia yang hitz di tahun 2021 ini. Penawaran saham perdana PT Bukalapak dilaksanakan pada tanggal 6 Agustus 2021 dan sukses besar mencetak rekor IPO dengan berhasil mengumpulkan dana segar 21,89 triliun rupiah. Angka tersebut didapat dari penjualan saham kepada publik sebanyak 25,76 miliar lembar saham seharga Rp. 850 per lembar sahamnya. Rekor sebelumnya dipegang oleh ADRO saat IPO pada tahun 2008 senilai Rp. 12,2 T.
Saya masih ingat saat itu di media sosial ramai sekali pro-kontra tentang IPO BUKA ini, terutama perdebatan tentang harga IPO yang dianggap kemahalan. Sisi pro berpendapat bahwa harga mahal yang dibayar sebanding dengan prospek perusahaan di masa depan. Status sebagai unicorn didukung dengan euforia “saham teknologi” saat itu dianggap sebagai penjamin prospek positif di masa depan. Kaum kontra berpendapat sebaliknya. Fakta laporan keuangan tahun penuh 2018, 2019 dan 2020 yang masih mencatatkan rugi bersih merupakan fakta tak terbantahkan yang menunjukkan Buka Lapak tidak memenuhi syarat fundamental sebagai perusahaan yang layak untuk investasi. Kaum kontra yang saya maksud di sini pada umumnya adalah mereka para fundamentalis, investor saham yang keputusan investasinya didasarkan atas kinerja perusahaan yang tercermin dalam laporan keuangan. Apalagi untuk kaum fundamentalis garis keras. Beli saham perusahaan IPO adalah a big no no. Hal ini selaras dengan yang diajarkan oleh tokoh value investing dunia Warren Buffet yang mengaku tidak pernah dan tidak akan pernah membeli saham IPO. Menurut beliau, IPO cenderung menguntungkan pemilik awal perusahaan, karena mereka bisa memilih waktu yang mereka mau, dan pada harga yang mereka mau juga.
Ok, kembali ke BUKA. Apa yang terjadi setelah 3 bulan berjalan?
Harga saham BUKA pada penutupan tanggal 5 November 2021 tercatat Rp. 665, atau turun 21,76% dari harga IPO-nya. Artinya, bila anda menginvestasikan 100 juta uang anda ke saham BUKA pada Agustus yang lalu, maka hari ini anda sudah kehilangan 21,76 juta, hanya dalam tempo tiga bulan! Namun, apakah jika memang demikian yang terjadi, berarti kaum fundamentalis benar?
Mari kita bongkar kondisi perusahaan Bukalapak.
Saat IPO, Bukalapak berstatus sebagai salah satu perusahaan start-up yang mencapai level unicorn (perusahaan dengan valuasi USD 1 miliar atau sekitar 14,3 T). Status itu dicapainya sekitar tahun 2018. Sebagai catatan, yang dimaksud dengan valuasi sebuah perusahaan adalah nilai yang mewakili nilai ekonomis perusahaan. Secara konvensional, valuasi perusahaan adalah total nilai asetnya. Namun untuk startup, cara menilai valuasinya gampang-gampang susah karena juga telah memasukkan faktor jumlah dan besaran transaksi, jumlah pemakai platfor, hingga nilai teknologi yang dimilikinya. Perusahaan Bukalapak sendiri memiliki aset sebesar 2,59 T pada akhir tahun 2020 sesuai dengan laporan keuangan yang dirilisnya. Nilai aset tersebut jauh lebih kecil dari valuasinya sebagai unicorn yang katanya mencapai lebih dari 14,3 T.
Selama tiga tahun terakhir, Bukalapak konsisten mencetak kerugian. Pada tahun buku 2020, kerugian yang dialami oleh perusahaan ini 1,3 T, “sedikit lebih bagus” daripada tahun sebelumnya yang menderita rugi 2,79 T. Selama tiga tahun (2018, 2019, dan 2020) total kerugian yang dicatat oleh Bukalapak adalah 6,38 T.
Dalam IPO-nya, Bukalapak mengeluarkan saham baru sejumlah 25,76 miliar lembar saham dengan harga per lembarnya 850 rupiah. Total dana yang berhasil dihimpun adalah 12,2 triliun rupiah, atau sekitar 5 kali nilai total asetnya, sebuah harga yang sangat mahal menurut hemat saya. Hal ini jika melihat dengan track record perusahaan yang masih mencatatkan hat-trick kerugian. Namun ternyata hal ini tak menghentikan para investor ritel untuk berlomba-lomba mendapatkan saham Bukalapak tersebut.
Selang tiga bulan, bagaimana perjalanan harga sahamnya?
Harga saham BUKA mencatat all time high-nya di 1.110 pada tanggal 9 Agustus, atau hari kedua perdangangan sahamnya (tanggal 7 dan 8 Agustus adalah hari Sabtu dan Minggu). Setelahnya, harga sahamnya sideways di kisaran 850 – 900 rupiah, sebelum akhirnya bergerak downtrend hingga saat ini. Apabila kita melihat laporan keuangan kuartal II 2021, Bukalapak ternyata masih mencatatkan rugi bersih senilai 766 miliar rupiah, atau 1,5 triliun jika disetahunkan. Hal ini sejalan dengan penurunan harga saham BUKA yang ternyata mengikuti fundamental perusahaan. Di harga sekarang, harga sahamnya pun terhitung 22,8 kali lebih mahal dari nilai bukunya.
Well, apakah PBV 22,8 kali ini pantas untuk prospek masa depan yang ditawarkan oleh Bukalapak? Hanya anda yang bisa menjawab.
Namun, bila dikulik dari public expose terakhir yang dipaparkan pada Oktober 2021 ini, terlihat peningkatan kinerja yang diwakili oleh pertumbuhan pendapatan dan pertumbuhan bisnis. Pertumbuhan bisnis meningkat 56% YoY, sedangkan pendapatan tumbuh 37%. Perusahaan juga mengklaim sebagai penguasa pangsa pasar UMKM bila dibandingkan dengan kompetitornya. Ke depan, Bukalapak akan meningkatkan bidang keuangan dan gaming, dengan mengadopsi sistem pembayaran QRIS, membuka bank digital, investasi digital, dan mengakuisisi Itemku selaku marketplace game digital pertama di Indonesia. Yang masih harus ditingkatkan oleh Bukalapak adalah menekan beban-bebannya sehingga pendapatan yang tumbuh tadi pada akhirnya bisa mencatatkan laba bersih. Beban penjualan dan pemasaran pada semester pertama 2021 masih meningkat 29,9% YoY. Pos pengeluaran terbesar pada beban penjualan dan pemasaran berasal dari mitra (314 M), subsidi fitur (259 M), dan voucher (110 M). Hal ini menunjukkan bahwa BUKA masih belum bisa meninggalkan praktik bakar uangnya.
Yang jelas pengalaman IPO Bukalapak ini menunjukkan tesis Warren Buffet tepat. IPO tidak pernah bersahabat bagi para investor ritel karena harga yang ditawarkan saat IPO belum melalui mekanisme pasar, melainkan mengikuti kemauan para pendiri perusahaan. Secara logika, tidak ada pemilik perusahaan yang mau menjual perusahaannya di harga murah. Kebetulan momen IPO Bukalapak ini bertepatan dengan tren euforia saham-saham teknologi sehingga mampu menarik para investor ritel dan dibuktikan dengan laris manisnya penjualan saham IPO ini. Seorang value investor teguh pada prinsip hanya akan membeli saham perusahaan bagus di harga murah. Pada saham IPO, sangat mungkin untuk mendapatkan perusahaan bagus namun mustahil untuk mendapatkan harga murah karena alasan tadi itu: harga yang ditawarkan belum melalui mekanisme pasar supply dan demand. BUKA juga memberi pelajaran bahwa harga saham IPO mungkin saja naik tinggi dalam jangka pendek yang diakibatkan oleh euforia pasar saja dan bukan alasan fundamental. Bagi yang suka spekulasi tipis-tipis maka boleh-boleh saja mencoba membeli saham IPO. Namun buat mereka yang fokus mencari diskon perusahaan bagus, mending mencari saham perusahaan yang sudah memiliki riwayat fundamental yang bagus dan harganya sedang diskon.
Cross posting regarding BUKA. Enjoy !!
https://korporatisasi.com/2021/08/11/ara-arb-bukalapak-anda-penjudi-atau-investor/