Andai Blackberry hanyalah buah…
Sore itu berlangsung perbincangan yang hangat antara saya dan teman sekamar saya, Rif’an. Waktu menunjukkan pukul 19.00 saat kami berdua asyik berbincang di kamar saya dalam rangka ngabuburit. Jam segitu memang belum saatnya berbuka puasa. Kami beruntung Ramadhan tahun ini berkesempatan melaksanakan puasa selama 16,5 jam. Hal itu karena bulan Ramadhan tahun ini jatuh pada musim panas. Lebanon, walaupun bukan di Eropa, saat musim panas juga mengalami siang yang panjang.
Kembali ke topik.
Blackberry yang saat ini sedang in di Indonesia menjadi pokok bahasan sore itu. Blackberry sang fenomena itu secara tidak sadar sudah memengaruhi perilaku kita. Saya menyadari bahwa Blackberry adalah (bisa dibilang) kebutuhan pokok kita. Blackberry hanya kalah pengting sedikit dari nasi.
Yang saya alami saya nilai sudah mencapai titik parah. Diam-diam tangan kanan saya secara reflek selalu merogoh kantong celana kanan saya. Hanya untuk menyentuh gadget berwarna hitam ini. Ada atau tidak ada pesan yang masuk saya perhatikan hal tersebut selalu saya lakukan. Rasanya hidup ini ada yang kurang apabila belum melihat layar Blackberry. Setelah melihat Blackberry, yang saya lakukan hanyalah melihat-lihat status teman-teman saya. Benar-benar sesuatu yang tidak penting.
Selain itu, efek buruk Blackberry juga sudah merambah ke kehidupan sosial. Seringkali kita duduk bersama di sebuah restoran bersama keluarga atau kolega kita. Namun selama duduk bersama itu yang dilakukan hanyalah mengutak-atik gadget kesayangan. Pernah juga dalam suatu konser ada sepasang muda-mudi duduk bersama. Yang mereka lakukan selama konser berlangsung adalah asyik dengan Blackberry masing-masing. Sampai ada sebuah jargon kalau Blackberry itu mendekatkan yang jauh sekaligus menjauhkan yang dekat.
Decision is made !
Demi mengurangi ketergantungan terhadap Blackberry saya memutuskan untuk mengurangi interaksi dengan Blackberry. Mulai hari itu Blackberry saya perlakukan seperti telepon genggam konvensional. Pada saat berada di tengah-tengah orang, Blackberry hanya akan saya buka bila ada pesan yang masuk. Tidak ada lagi berasyik masyuk dengan Blackberry dengan tanpa alasan. Fungsi recent updates juga saya non-aktifkan, demi mengurangi keingintahuan terhadap aktivitas teman-teman kita.
Hari pertama terasa sangat berat. Sesekali tangan ini masih sering mencari-cari Blackberry kesayangan. Otak juga masih sering mempengaruhi agar kita melihat status update dari teman-teman. Namun karena fungsi recent updates sudah tiada, niat itu bisa dicegah. Funsi getar juga membantu saya untuk memonitor adanya pesan masuk saat benda hitam itu berada di saku.
Sekarang, setelah hampir seminggu terapi Blackberry saya laksanakan, hasilnya sangat luar biasa. Tidak ada lagi rasa “gatal” ingin menyentuhnya. Tidak ada lagi rasa penasaran ingin mengintipnya. Sosialisasi dengan lingkungan sekitar menjadi lebih intens. Semoga ini semua bisa “istiqamah”, tidak hanya hangat-hangat tai ayam saja.Semoga bisa menjadi inspirasi.