6 Maret, setahun yang lalu
Hari itu, Jumat 4 Maret 2011, ketika sedang bekerja di geladak KRI Teluk Semangka-512, telepon saya berdering. Ternyata istri saya yang berada di balik sana, hanya satu kata yang dia ucapkan, “Pip, aku udah kerasa.”
Ya, istri saya waktu itu sedang hamil tua, bahkan melebihi dari tanggal perkiraan dokter. Meluncurlah saya ke rumah setelah meminta ijin pada Palaksa. Motor saya pacu melebihi yang biasa saya lakukan, agar sampai lebih cepat ke rumah. Maklum, rasa khawatir menghinggapi pikiran saya waktu itu, jangan-jangan saya terlambat, jangan-jangan mbrojol duluan. Perasaan calon bapak kebanyakan mungkin seperti itu semua.
Tiba di rumah setelah 20 menit, istri saya sudah siap untuk berangkat. Untungnya seluruh perlengkapan untuk ke rumah sakit sudah kami siapkan jauh-jauh hari sebelumnya. Dua tas penuh perlengkapan melahirkan sudah tertata rapi di bagian belakang mobil, termasuk perlengkapan survival sang calon bapak. Dengan hati-hati istri saya naik mobil, dan berangkatlah kami berdua menuju ke RS Putri setelah berpamitan dengan Sri yang kebagian tugas menjaga rumah.
Waktu itu hari Jumat siang, saat semua sholat Jumat. Mungkin inilah yang membuat jalanan waktu itu agak lengang, tidak seperti biasanya yang macet. Dan waktu itu saya merasa perjalanan kami dimudahkan, dengan banyaknya mobil-mobil yang mengalah, memberi jalan untuk kami mendahului. Untungnya istri saya waktu itu masih jauh dari saat melahirkan, masih tenang-tenang saja. Namun rasa cemas ini masih selalu menghantui.
Tiba di RS Putri, kami langsung melapor dan langsung masuk kamar. Kamarnya cukup nyaman walau kecil, satu tempat tidur pasien dan satu tempat tidur penunggu, lengkap dengan kamar mandi dalam. Cukup layak untuk kami berdua, karena hanya kami berdua di dalam sana, dan bisa digunakan untuk menyusui bayi.
Malam harinya masih belum ada tanda-tanda lagi dari istri saya. Sudah berulang kali perawat-perawat memeriksa istri saya, hasilnya masih pembukaan dua dan belum lagi bertambah sejak masuk RS tadi siang. Istri masih kelihatan tenang-tenang saja. Esok harinya kami berjalan-jalan di perkiran RS, untuk merangsang pembukaan. Dengan keadaan perut yang sudah sangat besar, saya dampingi istri saya untuk berjalan. Setelah itu kami masuk ke kamar dan kembali diperiksa dengan hasil yang belum ada peningkatan. Sang dokter pun datang memeriksa, kami pun disuruh menunggu.
Malam harinya istri minta didrip, dirangsang agar sang jabang bayi mau keluar. Di sini saya salut dengan istri saya, demi melahirkan normal, dia rela untuk merasakan sakit. Benar-benar wanita yang hebat. Dengan setia saya menunggunya bersama ibu mertua di tempat melahirkan. Detik berganti detik, jam berganti jam, mulailah ada kemajuan, sudah pembukaan lima. Istri saya masih semangat untuk melahirkan normal walaupun ada alternatif untuk melahirkan secara operasi sesar. Malam itu tidak dapat diceritakan dengan kata-kata, berulang kali saya menitikkan air mata melihat istri saya. Seorang wanita hebat yang sedang berjuang untuk melahirkan buah cinta kami, menahan rasa sakit demi sang bayi. Dokter hanya berkata, jika sampai besok paginya belum ada perkembangan yang signifikan, maka akan dilaksanakan operasi. Dan, itulah yang terjadi.
Hari Minggunya akhirnya jadi dilaksanakan operasi karena hasil belum sesuai harapan. Segera saya mengirim pesan ke seluruh keluarga, mengabarkan kalau istri akan operasi, minta doa restu. Tak lama para keluarga datang ke RS, baik orang tua saya maupun orang tua istri datang untuk memberikan doa dan dukungan. Istri saya masuk kamar operasi, saya menunggu dokter di pintu lift untuk meminta ijin bisa ikut mendampingi istri. Tak lupa sebelumnya saya sholat dhuhur untuk memohon pertolongan kepada Allah SWT. Mungkin itu adalah sholat dhuhur terkhusyuk saya.
Tepat tengah hari sang dokter muncul dari lift, saya pun meminta ijin ikut masuk ke kamar operasi. Alhamdulillah dia mengijinkan setelah sebelumnya bertanya apakah saya takut darah atau tidak. Saya jawab tidak, walaupun sebenarnya saya ngeri juga menyaksikan operasi untuk pertama kalinya. Di dalam saya diberi pakaian operasi hijau-hijau yang segera saya mengenakannya. Tak lupa saya bawa blackberry saya untuk merekam momen bersejarah itu.
Masuk ke dalam, terlihat istri saya terbaring di meja operasi. Senyum tersungging di bibirnya melihat saya masuk ke dalam. Saya mengambil posisi di samping kepala istri saya, sebuah posisi yang strategis menurut saya. Karena dari sana saya bisa mendampingi istri saya, bisa mengambil video dan yang paling penting, tidak terlihat darah.
Operasi pun dilaksanaka. Suasana di kamar operasi tidak sengeri yang saya bayangkan. Tampak dr. Poedjo di sisi kiri istri saya, di hadapannya ada dokter anestesi. Selain mereka ada kurang lebih empat atau lima orang lainnya dengan tugas masing-masing. Selama jalannya operasi terdengar mereka asyik bercakap-cakap, seakan ini bukanlah sebuah operasi. Tangan kiri saya memegang handphone, tangan kanan memegang tangan istri, mencoba menenangkan sekaligus merekam adegan demi adegan yang berlangsung di hadapan saya.
Jarum jam menunjukkan pukul 12.34 WIB, anak saya pun lahir ke dunia. Sebelum itu terlihat sang dokter menyingkirkan tali pusat yang berkalung di lehernya. Ternyata selama ini hal itulah yang menghambat anak saya turun ke bawah. Dokter pun bilang kalau jenis kelaminnya cewek. Alhamdulillah anak saya lahir dengan selamat. Dengan tangis yang keras anak saya dibawa ke ruang pembersihan. Saya mengikutinya setelah memastikan istri saya baik-baik saja. Para dokter pun melanjutkan tugasnya yang belum selesai.
Di ruangan yang lain saya mendekati anak saya berada. Di sana dilaksanakan tindakan-tindakan pertama yang saya tidak paham namanya. Ada seperti dimasukkan selang, entah untuk apa, dan diberi bedak. Setelah anak saya bersih saya pun dipersilakan untuk mengadzaninya, sebagaimana syariat dalam agama Islam. Di telinga kanan saya lantunkan adzan, di kiri saya bisikkan iqamat. Kata-kata ilahi yang didengarnya pertama kali itu seketika membuka matanya sesaat, seakan dia mengerti apa yang saya ucapkan.
Alhamdulillah anak saya lahir selamat walaupun saya lupa untuk menghitung jari-jemarinya seperti yang disarankan oleh banyak orang. Alhamdulillah istri saya juga diberi keselamatan setelah dua hari dua malam berjuang untuk menahan rasa sakit demi melahirkan normal. Yah, Axelluna Andromeda Jr. telah lahir ke dunia. Seorang bayi perempuan mungil dengan berat 3,7 kg, yang kami dambakan sejak kami menikah, sekarang telah mengisi hari-hari kami dengan canda tawanya.
Hari ini, di ulang tahunnya yang pertama, sang bapak tidak bisa berada di sampingya karena sebuah tugas yang harus dilaksanakan. Sang bapak hanya bisa berdoa, semoga ulang tahun pertama ini menjadi awal yang bagus bagi kehidupannya kelak.
Nikmatilah masa kecilmu, nak. Berlarilah sepuas hatimu.
Peluk cium Pipop dari jauh.
Selamat ulang tahun yang pertama.