2021 Annual Letter: Selalu Ada Langkah Pertama untuk Semuanya
Selamat pagi para pembaca. Perkenankan saya mengucapkan Selamat Tahun Baru 2022. Di tahun yang baru ini tentunya kita berharap agar kita semua dinaungi kesehatan dan tentunya kita juga berharap terhadap membaiknya dunia investasi yang kita geluti. Kita tentunya berharap badai Covid-19 yang sangat berpengaruh terhadap iklim investasi pada tahun 2020, dan ternyata masih kita rasakan di tahun 2021, segera berlalu.
Portfolio Update
Kinerja portfolio saham saya secara keseluruhan di tahun 2021 yang lalu alhamdulillah mencatatkan profit 10,26% (sudah termasuk dividen). Indeks portfolio saya di akhir tahun 1.102,5744, naik dari indeks awal tahun 1.000,0000. Pencatatan kinerja portfolio menggunakan sistem reksadana, yang penjelasannya bisa dilihat di sini: https://andromedaciptadi.com/portfolio-update-101/.
IHSG sendiri sepanjang tahun 2021 naik sebesar 10,08% (tidak memperhitungkan faktor dividen). Seri! Kinerja portfolio saya menyamai kinerja IHSG. Bukan sebuah hasil yang menggembirakan memang. Bahkan mungkin kinerja portfolio saya kalah jauh bila IHSG dihitung dengan memasukkan faktor dividen yang diperoleh selama setahun penuh.
Progress bulanan portfolio tersaji berikut:
Portfolio di akhir bulan Desember 2021 saya tersusun sebagai berikut:
ABMM 8,72%, ADMF 6,14%, ASII 8,90%, BBNI 9,19%, BJTM 4,98%, BMTR 6,95%, GGRM 24,39%, ITMG 16,26%, MBAP 6,34%, SGRO 4,37%, Cash 6,81%.
Aset saya terdiversifikasi ke dalam sepuluh saham yang terbagi ke dalam sektor batubara, perbankan, pembiayaan, customer goods, media, dan sawit. Persentase aset yang saya masukkan ke saham sebesar 93,19%, sedangkan 6,81% sisanya masih berbentuk cash yang sebagiannya saya parkir di RDPU.
Sepanjang tahun 2021 yang lalu saya menerima dividen total senilai Rp. 9.151.997,89 dari BMRI (sudah saya jual habis), ADMF, GGRM, dan ITMG. Penambahan dari dividen ini lumayan menaikkan kinerja portfolio saya sebesar ~3%.
Komposisi portfolio saya sebenarnya terlalu “gemuk.” Saya sendiri tidak menyangka akan mengoleksi hingga sepuluh saham. Buat saya pribadi, idealnya saya hanya memiliki 5 sampai 6 saham saja. Banyaknya saham yang saya punyai lebih cenderung karena saya kurang fokus dengan prinsip yang saya anut. Selain itu, faktor booming komoditas di akhir-akhir tahun 2021 menjadikan saya merasa takut ketinggalan kereta. Pembelian saham ABMM, MBAP dan SGRO adalah contoh tindakan FOMO saya yang tanpa didahului analisis fundamental yang benar.
Kilas Balik 2021
Untuk pembaca ketahui, tahun 2021 adalah pertama kalinya saya serius untuk berinvestasi saham secara penuh. Walapun fokus saya di saham ini tergolong part time, namun saya mencurahkan perhatian saya secara penuh sepanjang tahun, termasuk mengamati perkembangan lingkungan strategis yang terjadi di dunia investasi. Saya juga dengan giat mengikuti beberapa kursus/pelatihan analisis saham dengan harapan akan menjadikan saya seorang investor yang independen, yang mampu dan berani mengambil keputusan investasi sendiri.
Saya mengawali tahun 2021 dengan IHSG yang cenderung bullish. Hal ini membuat saya membeli beberapa saham agak sedikit kemahalan, di antaranya adalah ADMF, GGRM, BMRI, bahkan LPCK. Alhasil, kinerja portfolio saya merah membara hingga minus 18% di bulan Februari.
Awal tahun 2021 merupakan masa rame-ramenya saham bank shariah dan saham teknologi. Pertengahan tahun musimnya booming komoditas. Batubara dan CPO mencatatkan rekor harga tertinggi. Isu energi terbarukan dan kenaikan cukai rokok menghambat kenaikan harga saham terkait, walaupun kinerja perusahaannya baik-baik saja.
Bulan-bulan berikutnya saya mulai belajar memberanikan diri untuk “bersih-bersih” saham yang tidak performed. Di antara yang saya jual secara bertahap walaupun dalam posisi cut loss adalah ASRI, LPCK, dan BMTR. Terus terang, ketiga saham tersebut adalah peninggalan dari tahun 2020, saat saya belum terlalu mendalami analisis fundamental. Buy based on rumour. Itulah yang dulu saya lakukan. Maklum masih awam.
Ada juga rame-rame IPO Bukalapak di tahun 2021 ini. Saya sebenarnya hampir tergoda untuk membeli saham BUKA mengingat saya termasuk salah satu pengguna aktif Bukalapak. Selain itu ada sedikit rasa mencoba membeli saham IPO, hanya untuk pengalaman saja. Namun kali ini saya berhasil menahan diri untuk strict terhadap prinsip value investing: membeli perusahaan bagus di harga murah. Bukalapak jelas-jelas tidak memenuhi dua kriteria tersebut. Dan bisa kita lihat di perusahaan-perusahaan IPO lainnya. Memang semuanya tidak berkinerja jelek. Namun bisa dipastikan sahamnya dijual mahal saat IPO.
Selanjutnya akhir tahun adalah saatnya investor kecele dengan tidak adanya window dressing. IHSG mencatatkan all time high di bulan November pada angka 6.723,39. Meskipun demikian, saham-saham bluechip kinerjanya belum sesuai yang diharapkan. Overall, IHSG tampak membaik karena didukung oleh peningkatan tidak masuk akal dari saham-saham teknologi yang memang sedang hype. Indeks LQ45 sendiri kinerjanya minus 4,89%.
Tahun 2021 merupakan pengalaman yang sangat sangat berharga bagi saya. Saya belajar bahwa ternyata mengalahkan indeks itu tidak segampang yang dibayangkan. Dengan segala keseriusan yang saya lakukan, kinerja portfolio saya masih seri saja dengan IHSG: 10% vs 10%.
Setelah saya analisis, tidak moncernya saham pilihan saya sebanding dengan kinerja indeks LQ-45. Salah satu penyebabnya mungkin adalah tersedotnya dana investor ke saham-saham yang sedang populer seperti saham perusahaan teknologi dan saham-saham IPO. Bergesernya dana ke saham-saham itu pada akhirnya tidak menggerakkan saham-saham perusahaan yang sebenarnya berkinerja bagus.
Fenomena ini sepintas menunjukkan value investing is dead. Ya, kinerja saham tidak mencerminkan kinerja perusahaan sesungguhnya. Sektor batubara dan sawit yang jelas-jelas diuntungkan dengan kenaikan harga komoditas harga sahamnya malah cenderung gak ke mana-mana. Namun saya tidak percaya bahwa era investasi nilai sudah tamat. Saya masih yakin bahwa secara jangka panjang, hanya value investing yang akan memberi return yang paling memuaskan. Karena sejarah telah berkali-kali membuktikan hal ini. Fenomena internet bubble di tahun 1990-an salah satu contohnya.
Pembelian saya yang performanya lumayan adalah ITMG dan BBNI. Dua-duanya saya beli setelah melalui analisis fundamental yang seksama.
ITMG saya beli sewaktu MOSnya 50% sesuai perhitungan saya. Saya membeli saham ini dengan pertimbangan penjualan ITMG mayoritas untuk ekspor, dan terjadi defisit suplai batubara di China karena perselisihan dengan Australia. Dan terbukti sepanjang tahun 2021 ini harga sahamnya naik hingga 70%. Bahkan ITMG saya sempat bagger di bulan Oktober yang lalu, namun saya memilih tidak menjualnya karena masih optimis harganya bakal bisa menyentuh 30.000 mengingat harga batu bara itu sendiri dan kinerja Indo Tambangraya Megah yang terus mencatatkan performa positif. Semoga bisa kejadian di tahun 2022 ini.
BBNI saya koleksi saat harganya turun sesaat karena isu adanya rencana right issue. Dengan kenaikan yang mencapai 39%, BBNI mungkin baru akan saya lepas saat harganya menyentuh 7.500 sampai 8.000. Dengan membeli saham bank terbesar keempat di Indonesia ini, saya mempraktikkan prinsip “buy in the bad time.”
Gudang Garam sebenarnya adalah saham jagoan saya. Dengan statusnya sebagai market leader, apa yang dialami oleh Gudang Garam ini bisa dibilang bad time. Namun saya ternyata masuk terlalu cepat, dengan harga pembelian rata-rata 36.400-an. Tahun 2021 ini merupakan tahun ujian bagi industri rokok dengan adanya kenaikan cukai yang bertubi-tubi. Saya mungkin akan average down di GGRM ini walaupun porsinya sudah cukup besar di portfolio saya mengingat prospek ke depan yang ditawarkannya. Perusahaan ini tidak ada salah-salahnya. Jebloknya kinerja perusahaan hanya karena isu cukai dan melemahnya daya beli masyarakat karena pandemi. That’s it!
Kesalahan saya berikutnya adalah terlalu mendengarkan apa kata orang-orang. Termasuk dengan yang namanya window dressing. Ternyata di Desember 2021 ini tidak ada yang namanya window dressing, Saudara-Saudara. Dan sudah seharusnya seorang investor hanya fokus pada fundamental perusahaan saja. Terbukti dengan makin melorotnya saham-saham yang saya punyai, yang saya beli hanya karena ngarep adanya window dressing. Not gonna happen again!
Strategi 2022
Yang menjadi prioritas saya di tahun ini adalah merampingkan portfolio saya hingga menjadi 5 sampai 6 saham saja. Untuk itu saya menjual beberapa saham yang tidak terlalu bagus performanya, seperti BMTR dan SGRO, dan mungkin juga ABMM dan MBAP. Tentunya juga dengan melihat prospek komoditas di tahun ini. Apakah kinerja perusahaannya tercermin ke dalam harga sahamnya, itu yang masih perlu dilihat lagi.
Mungkin saya akan menambah porsi di Gudang Garam dan Adira dengan alasan fundamental yang saya lihat masih cukup bagus. Selebihnya masih akan wait and see, tergantung sikon nantinya.
Selanjutnya saya optimis ekonomi di tahun 2022 ini membaik dengan semakin luasnya cakupan vaksinasi. Hal ini terbukti dengan masih bergeliatnya perekonomian di tengah isu varian Omicron. Bila ekonomi ada perbaikan kinerja, maka performa sektor perbankan dan customer good akan membaik pula. Tentunya saya akan lebih cermat dan lebih fokus pada analisis perusahaan secara detail sebelum memutuskan untuk membeli sebuah saham. Tentunya dengan MOS yang tebal untuk mengontrol risiko yang mungkin timbul.
Key Takeaways
Beberapa pelajaran yang saya dapat di sepanjang tahun 2021 ini:
1. Pentingnya pengendalian emosi. Saya semakin menyadari bahwa yang namanya pengendalian emosi itu tidak semudah yang dibayangkan dan perlu latihan. Memang betul saya tahu rumus bahwa investasi saham itu tidak butuh pintar, hanya dibutuhkan pengendalian emosi. Namun ternyata masih sering juga saya terpengaruh oleh euforia pasar.
2. Selalu kerjakan PR. Terus terang saya tidak selalu melakukan analisis secara komprehensif. Dan menurut pengalaman investasi saya di tahun 2021, analisis fundamental yang serius akan menyelamatkan kita dari risiko yang mungkin terjadi. Dua saham saya yang melalui analisis yang betul, didukung oleh MOS yang tebal, mencatatkan kinerja yang paling bagus (ITMG dan BBNI).
3. Pegang prinsip baik-baik. Di luaran sana ada banyak style investor yang tersedia untuk kita tiru. Ada yang semi trader, ada juga yang beraliran fundamental garis keras. Terus terang saya banyak mengikuti tokoh-tokoh saham Indonesia, yang walaupun sama-sama menganut aliran fundamental, namun gaya investasinya beda-beda. Investasi sendiri adalah seni, tidak ada benar dan tidak ada salah. Kita benar jika bisa cuan. Sesimpel itu. Gaya investasi saya di tahun-tahun berikutnya sepertinya akan lebih sabar dengan tidak mendengar bisikan-bisikan pasar karena menurut pengalaman saya setahun terakhir ini, terburu-buru malah menjadikan hasil tidak maksimal. Meskipun demikian, time frame investasi saya juga tidak akan panjang-panjang amat, mungkin di kisaran 6 sampai 24 bulan.
4. Fokus ke mikro, bukan makro. Manusia itu pada dasarnya tidak bisa memprediksi masa depan, apalagi jika banyak sekali variabel yang harus dipertimbangkan. Makroekonomi adalah salah satunya. Walaupun makro bisa berpengaruh kepada kinerja sebuah perusahaan, namun seorang investor seharusnya fokus saja dalam melihat detail perusahaan. Isu omicron, tapering, kelangkaan energi, dll seharusnya tidak menjadi beban pikiran investor. Selama seorang investor benar-benar mendedikasikan waktu dan tenaganya untuk melihat sebuah perusahaan dengan seksama, yakinlah bahwa investasi yang dilakukan tidak akan mengecewakan, asalkan tetap mengambil MOS yang tebal.
5. Practice makes perfect. Berinvestasi secara aktif selama setahun penuh tentunya sangat menambah pengalaman saya. Dari sana saya belajar memberanikan diri cut loss. Saya juga bisa melatih mental saya, utamanya saat melihat porto turun. Yang masih on progress mungkin meminimalisir FOMO itu tadi. Pengetahuan dan kemampuan harus berjalan beriringan. Seorang investor wajib hukumnya untuk selalu belajar untuk menambah knowledge. Namun Jenderal yang baik adalah dia yang terjun langsung ke lapangan memimpin anak buahnya. Begitu juga dengan investor saham. Pengalaman merasakan hiruk pikuknya bursa saham selama setahun penuh pertama saya ini benar-benar menjadi sebuah pengalaman yang sangat berharga.
6. Jadi kaya itu tidak mudah. Mengalahkan indeks itu ternyata tidak mudah. Kinerja portfolio saya memang unggul jauh dari LQ-45, namun masih seri apabila ditandingkan dengan IHSG. Beberapa kali saya cut loss hanya karena menyadari bahwa keputusan investasi saya kurang tepat. Namun itu saya anggap sebagai “biaya sekolah.” Biar lebih pinter. Yang penting yakin dan tetap berpegang teguh pada prinsip. Saya optimis tahun depan pasti lebih baik dari tahun 2021 yang lalu.
Well, mungkin sampai sini saja ceritanya. Saya harap pengalaman investasi saham saya tahun 2021 ini bisa menjadi pelajaran juga bagi para pembaca blog saya. Masukan dan saran saya persilakan dengan kirim email saya, ataupun DM di media sosial saya (Instagram dan Twitter @awciptadi). Semoga kita bisa menjadi lebih dewasa lagi dalam berinvestasi saham di tahun 2022 ini.
Salam sehat,
Andromeda Ciptadi
Learn, invest, make it happen